Move On

108 5 0
                                    

Tidak ada lagi senyuman hangat yang menyambut pagiku,
Tidak ada lagi coklat dipagi hari yang selalu mengisi tasku,
Tidak ada lagi orang yang mengantarku dengan alasan-alasan konyol.
Dimas, aku takut, aku takut tidak terbiasa dengan hariku tanpa kehadiranmu.
Rasanya, aku gak sanggup liat kamu ngejalanin hari kamu sama cewek itu. Iya, cewek yang merebut semuanya, cewek yang merebut sosok Dimas dari ceritaku, cewek yang sekarang menggantikanku mendapatkan coklat di pagi hari, dan mendapatkan senyuman hangat setiap paginya.
Adil kah ini? Tolong jawab bahwa ini tidak adil dan kembalikan kebahagiaanku dengan dia, lelaki yang menjadi obsesiku selama 3 bulan ini.

***

Pagi hari setelah 2 hari aku dan Dimas memutuskan berpisah, sangat berbeda rasanya, hampa, dan aku mulai merasakan kerinduan-kerinduan kecil dari sebuah sosok Dimas. Setelah kejadian malam itu, aku gak pernah liat sosok Dimas ada dihadapanku, jujur aku mencarinya tapi aku sadar, untuk apa aku mencari lelaki yang jelas-jelas sudah mengkhianatiku hanya karena masalah sepele.
Aku berangkat ke sekolah dengan menggunakan ojek online, ya tanpa kehadiran Dimas lagi dan aku harus terbiasa dengan semuanya ini, aku harus yakin bahwa aku bisa lupain Dimas, cowok yang gak pantes aku ratapi kepergiannya, sesuai dengan nasihat Karin. Sesampainya di sekolah, aku berjalan dengan tenang dan mencoba terbiasa dengan keadaan seperti ini, walaupun memang banyak yang bertanya "Nis, putus sama Dimas". Aku benci pertanyaan itu, karena pertanyaan itu hanya mengingatkan aku dengan bagaimana alasan Dimas yang pada akhirnya memilih melepasku dengan mudahnya.
Aku masuk kelas dengan mencoba tidak mengingat kebiasaan Dimas yang biasa mengantarku sampai ke depan kelas, aku harus melupakannya dan mengikhlaskan dia bersama orang itu, orang yang udah dia pilih dan akhirnya melepas aku.
Hari ini aku belajar dengan biasanya sampai akhirnya bel pulang sekolah berbunyi, aku memutuskan untuk pergi ke kafe dekat sekolah, aku ingin menenangkan diri disana, sendiri.
Saat berjalan di lorong sekolah, aku melihat Dimas, ya Dimas dengan cewek itu, Agnes. Dimas tersenyum kepadaku dan menyapaku seolah olah tidak ada masalah diantara kita berdua.

"Hai Nis, apa kabar?"

Aku menghentikan langkahku dan menjawabnya.

"Eh, Dim. Nisa baik kok, oh ya Nisa duluan yah"

"Oh iya hati-hati"

Sambil berjalan meninggalkan Dimas dan Cewek itu, aku bertanya-tanya, apakah lelaki itu sudah gila? menyapaku disaat dia sedang bersama pacar barunya? Ya tuhan... hantaman apa lagi ini, aku sedang berusaha melupakannya, ini gila bener-bener gila.
Aku membatalkan niatku untuk pergi ke kafe dekat sekolah aku memutuskan untuk menelpon Karin di gerbang sekolah.

"Halo Rin, Dimana?"

"Gue baru aja balik, baru aja naik angkot"

"Gue kerumah lu yah, sekarang"

"Yakin?"

"Iya gua yakin, tar gua kesana naik ojek, tunggu ya"

"Oke gua tunggu dirumah ya, sampe ketemu"

"Oke"

Aku menutup telpon dan langsung memesan ojek online lewat handponeku.

***

Sesampainya dirumah Karin, aku langsung dipersilahkan untuk ke kamarnya, disana aku mulai bercerita tentang kejadian gila saat pulang sekolah tadi. Karin menanggapinya dengan sangat kesal kepada Dimas.

"Gila gila gilaaaa tuh orang, sumpah gua kesel banget sama dia" Karin berkata dengan nada kesal.

"Gua juga ga ngerti lagi Rin, gua lagi coba berusaha melupakan dan mengikhlaskan Dimas, tapi Dimas seolah-olah menghalanginya" kali ini aku tidak menahan tangis dan juga tak ingin menangis.

"Nis, gua mohon lu harus lupain cowok kaya Dimas, gua yakin diluar sana masih banyak cowok yang mampu bahagiain cewek baik kaya lu. Nis, percaya sama gua banyak yang lebih baik dari Dimas, banyak banget. Ini hanya soal waktu gua yakin lu bisa lupain dia" Karin mencoba meyakinkan penuh harap.

Tangisku pecah saat itu. Ah, entah kenapa aku mulai merasa tergores lagi. Dan rasanya lidahku kelu untuk berbicara.

"Rin, Nisa juga yakin kalo Nisa bisa lupain dia, tapi Rin, Nisa gak sanggup liat dia sama cewek itu, Nisa gak bisa"

"Nis, cewek baik kaya kamu gak pantes nangisin cowok kaya dia, biarin dia bahagia sama cewek dia sekarang, yang gak sebaik Nisa dan gak sesabar Nisa. Nis come on, Karin yakin Nisa bisa"

Aku gak mampu buat ngomong apa-apa lagi yang aku bisa lakuin sekarang cuma nangis di pelukan Karin. Ah Rin kamu memang terbaik selalu ada disaat aku butuh seseorang buat mengerti aku.
Tiba-tiba Bunda Karin masuk kamar dan memberitahu bahwa teman Karin yang bernama Haikal datang untuk menemuinya. Siapa dia? Kenapa Karin gak pernah cerita kalo dia punya teman cowok? Apa itu pacarnya?. Pertanyaan banyak muncul di otakku saat ini.
Karin pun pergi menemuinya tapi dia juga mengajakku, lelaki yang tinggi berambut klimis, berkulit putih, dan berkumis tipis itu ada di hadapan kami berdua sekarang. Karin menyapanya dengan sangat akrab seperti sudah berteman sangat lama dengan lelaki itu.

"Haikal....." Karin berbicara dengan nada sedikit berteriak.

"Hai Rin, apa kabar?" Lelaki itu menyapa dengan ramah.

"Lu tuh ya, mentang-mentang SMP sama SMA beda sekolah sama gua, lu gak mau hubungin gua, aneh deh. By the way kabar gua baik, gimana kabar lu?"

"Ya biasalah sibuk Rin, oh ya ini siapa?"

"Hampir aja aku lupa kan, ini sahabat gua Annisa"

"Oh, Hai Annisa" Dia menyapaku ramah.

"Hai" aku membalas dengan senyuman.

"Oh ya Nis, Haikal ini temen aku waktu SD, dia temen deket aku dari kecil dulu dia gak seganteng ini, dulu cupu banget"

"Eitss, dasar yah Karin lu gak berubah"

Kami semua tertawa.

"Oh ya, lu tumben banget ke rumah gua, ada apa nih?"

"Gua kebetulan lewat Rin, dan gua pengen silaturahmi aja gitu"

Tiba-tiba handponeku berbunyi tanda pesan Whastsapp masuk, ternyata pesan dari mama dan aku segera membukanya.

'Assalamualaikum, Nis masih dirumah Karin kah? Cepat pulang ya'

Astaga, aku lupa buat lihat jam lagi-lagi, memang aku sering lupa waktu kalo lagi sama Karin.

"Rin gua balik ya, mama udah nge WA"

"Eh Nis, lu balik naik apa? susah angkot kalo jam segini"

"Biar sama gua aja, gua juga mau balik ko" ucap haikal dengan tenang.

"Eh, gak usah gak apa-apa aku pesen ojek online aja" timpalku.

"Udah Nis, sekalian aja. Haikal baik kok"

"Emm yaudah deh" akhirnya aku menerima tawarannya.

Aku pulang bersama Haikal, orang yang baru kenal denganku beberapa jam lalu.

"Kamu gak bawa jaket?"

"Emm, ngga"

Karena memang, sejak aku gak pernah dianter jemput Dimas lagi aku gak pernah pake jaket lagi ke sekolah.

"Yaudah pake jaket aku aja, diluar dingin"

"Tapi nanti kamu gimana?"

"Gak apa-apa aku udah biasa kok" jawabnya dengan sangat santai.

Akhirnya aku memakai jaket yang dipinjamkan oleh Haikal. Dijalan sangat hening tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut kami berdua, ya karena memang susah sih, Haikal mengendarai motor dengan laju kencang sore itu.
Entah kenapa aku merasa merindukan sosok Dimas lagi. Dimas, aku di bonceng cowok lain saat ini, dan itu bukan kamu, apakah kamu tidak cemburu?.

KAMUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang