4. Siapa Raga? & persyaratan.

177 13 0
                                    

Kami duduk dimeja makan, masih tanpa Raga. Dan aku yang duduk dikursi yang seharusnya Raga duduki.

"Ara," Aku menghentikkan kunyahanku dan gerakan sendokku terhenti.

"Ya Tante?" Mataku menatap tante Diana. "Tolong jangan beritahu siapapun kau bekerja disini. Apalagi, tentang Raga yang tidak lagi dapat melihat." Aku bingung dengan ucapanku, tapi, gerakan kepala bi Inang seolah menghipnotisku untuk mengangguk.

"Pasti Tante," tante Diana menghentikan makannya. "Kalau begitu tante pergi. Ada masalah dengan perusahaan tante."

Aku berdiri, meneguk air minum digelas dan mengikuti tante Diana berjalan kepintu utama. "Tolong urus Raga. Dia harus siap dua bulan kedepan untuk tampil dihadapan opah-nya."

Aku kembali tidak mengerti ucapan tante Diana. Hanya ada satu saja yang bisa kutahu, bi Inang bisa memberitahukan maksud tante Diana.

Aku membantu bi Inang membersihkan meja. "Mengapa tidak boleh ada yang tahu kondisi Raga?" Bi Inang menoleh.

"Nona tidak tahu siapa den Raga? Ya Tuhan! Pantas saja nona terlihat biasa-biasa saja!" Tidak! Perkataan bi Inang tidak memberikan jawaban sama sekali.

"Ayolah bi, katakan maksudmuu~" piring-piring sudah dibersihkan.

"Den Raga itu adalah calon penerus perusahaan. Berarti kamu kenal Tuan Daniel 'kan?"

"Ayolah, tuan Daniel Agantara Jayatama. Tuan Ajayatama?"

"Ajayatama? Direktur utama perusahaan yang bergerak dalam bidang otomotif terbesar di Indonesia dan merambat kebeberapa negara bagian? Yang benar saja?!" Jika piring-piring yang kupegang tidak erat maka seratus persen akan jatuh.

"Nona hanya tau perusahaan otomotif? Tidak! Mereka bergerak dalam segala bidang. Dan den Raga seharusnya dua bulan yang akan datang ini menggantikan posisi utama perusahaan itu!"

Langkahku terhenti, jackpot! Kutemukan jawaban mengapa Raga sangat rapuh. Aku tidak lagi menunggu bi Inang.

Aku menuju kelantai atas, menemui Raga. Tadi, dia memintaku meninggalkannya dengan makanan disampingnya. Tentu saja aku menolak, tapi kau tau apa yang terjadi selanjutnya.

"Kau lagi!" Ucapnya meninggi, lihat,lihat, apa yang sedang dia lakukan. Hanya duduk tanpa menyentuh makanannya?

"Raga, makananmu menghangat. Seharusnya kau makan saat dia masih panas,"

Tentu saja ucapanku tidak digubris dia hanya melipat lututnya dan membenamkan kepalanya.

Dia terluka.

Dan aku tahu.

"Raga..." panggilku, mengelus telapak tangannya yang menggantung.

"Mengapa tidak makan?" Dia menggeleng, mendorongku keras, hingga punnggungku terbentur. Punggung yang sempat sakit itu.

"Mama mana?!!"

Aku tersentak, punggungku ngilu. "Tante Diana sedang pergi memantau perusahaan. Ada sedikit masalah. Raga makan ya, nanti aku suap,"

"PERUSAHAAN! PERUSAHAAN! AKU BENCII!" Raga menangis.

Entah meratapi sesuatu atau menyesali sesuatu, Raga Agantara, menangis begitu terisak. Baru kali ini, setelah merawatnya aku percaya bahwa Raga adalah orang yang kosong.

"Aku, aku mau mati. Kenapa tuhan tidak sekalian mengambil nyawaku?!"

"RAGA!" Aku menyentaknya. Tidak sopan memang. Aku tau.

"Kamu harus bersyukur. Bisa hidup enak."

"Hidup enak? KAMU PIKIR JADI BUTA ITU ENAK?!"

"PACAR AKU, YANG AKU PIKIR BAKALAN SAYANG SAMA AKU AJA NINGGALIN. DAN... ORANG LAIN?!"

"Raga, kami semua sayang padamu kamu,"

"BULLSHIT! Berapa mama bayar kamu?! Biar aku bayar kamu dua kali lipat dari biasanya. Dan kamu bisa angkat kaki dari sini. Tidak perlu menyusahi diri dengan mengurusku!"

"RAGA! Aku memang dibayar. Tapi,... aku tidak akan mau diganti sampai tante Diana sendiri yang mengusirku." Ucapku mantap. Aku yakin setelah ini mungkin dia akan memutilasiku dengan paksa.

"Kamu... yakin?" Tapi hasil aneh yang aku dapatkan. Raga bertanya balik dan itu cukup mengagetkanku.

"Aku yakin. Jadi tolong, jangan mengamuk. Karena kamu bukan beruang,"

"Kamu! Jangan lancang!" Huh~

Aku menghela nafas pasrah. He backs to his real life.

"Ayo buat kesepakatan." Ucapku sambil merapikan semua barang-barang yang berhamburan.

"Kesepakatan? Semacam apa?" Raga meraba-raba mencari sesuatu yang bisa menjadi tumpuannya.

"Sebuah kesepakatan. Dalam dua bulan ini, jika kamu setuju dengan kesepakatanku, aku akan pergi dari rumah ini. Dan,-"

Raga tersenyum,"Dan? Dan apa? Ayo katakan. Aku pasti akan setuju!"

"Dan tidak akan kembali lagi."

Senyum yang lebih bahagia lagi mengembang disana. "Katakan! Katakan saja persyaratannya!"

"Jadilah pacarku. Turuti semuanya. Hanya sampai dua bulan. Aku.. janji."

"Hah?! Kamu tamak! Mau menguras uangku lagi dengan berpacaran denganku? Kamu tamak!"

Aku mendudukkannya diatas kursi roda. "Terserah apa ucapanmu. Tapi yang jelas, jika tidak setuju dengan persyaratannya, aku. Akan. Disini. Sampai. Kamu. Merasa. Penat!"

"Aku setuju! Dua bulan!" Aku tersenyum. Ara, kamu yakin semuanya akan berjalan lancar?

"Ok. Jadi sekarang kita pacaran," Raga berdehem. Sejujurnya aku juga merasa canggung.

Menawarkan diriku untuk berpacaran dengan orang lain? Oh Ara, lihat siapa kamu? Berani menawarkan diri pada pemuda kaya?

"Raga, kamu pacarku jadi ayo dengarkan ucapanku."

Raga menggeleng, "Tidak! Itu tidak dalam kesepakatan."

"Kesepakatan akan berubah seiring waktu. Jadi, dengarkan aku atau aku akan membatalkan kesepakatan. Ayolah, hanya dua bulan!"

Dua bulan ya? Apa kamu yakin Ara?

"Baiklah~ setidaknya dua bulan. Tepat setelah dua bulan. Pergilah dari hidupku."

"Tentu,"

Aku mendorong kursi roda Raga menuju kaca jendela besar.

"Sekarang, buka mulutmu dan makan. Kamu butuh tenaga untuk mengawali hari."

"Tapi.. tapi.."

Aku menggeleng, "Aku pacarmu." Murah sekali Ara.

"Iya!" Dia membuka mulutnya dan suapan demi suapan mulai masuk kedalam mulutnya. Dia makan, aku tau dia tidak suka dengan makanan yang masuk kedalam mulutnya.

"Raga, makanan apa yang kamu suka? Maksudku,,, aku pandai memasak. Mungkin kamu mau makan masakanku?"

Raga tersedak. Dan cepat-cepat menggelengkan kepalanya. "Jangan sok romantis! Gadis jelek kaya kamu emang bisa masak? Paling nggak enak!"

Aku tertawa dalam hati. Gadis jelek ya?

"Yasudah! Aku buatkan kari besok ya! Paginya kita makan bubur ayam, aku yakin itu enak."

Baru saja Raga ingin membuka suaranya, aku lebih dulu menyuara,"No comment!"

Raga diam. Mengunci mulutnya dan kembali makan. Aku merasa seperti,

Menghidupkan satu chip dalam tubuh sebuah robot.

<<<>>>

Bang aga, aku tatutt.

Into The Eyes(✔️)REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang