10. Sebuah deklarasi,merindukan.

139 11 0
                                    

Semua orang sudah berkumpul dikamar. Dari pekerja kebun hingga yang lainnya.

Yang membuat tubuhku gemetar adalah tatapan semi intens yang dilakukan tante Liana padaku.

Kami sudah menunggu kurang dari satu jam tiga puluh menit dan Raga belum juga sadar.

Tidak ada yang mau beranjak dari posisi mereka. Harapan kami semua hanya satu. Raga membuka matanya dan tidak lupa tentang Semuanya.

"Nyonya. Baiknya, nyonya makan siang dulu," tante Liana dengan keanggunannya menggeleng pelan. "Raga belum makan siang. Lalu bagaimana saya harus makan?" Sedari tadi, ucapan tante Liana menusuk siapa saja yang menegurnya.

Tapi aku tau. Hanya ada satu orang yang menjadi alasan mengapa dia sekeras itu sekarang ; aku.

"Nghh," Raga melenguh, dia membuka matanya dan memejamkan secara berulang.

"Raga!" Tante Liana berteriak. Dan langsung dengan gesit naik keatas ranjang dan memeluk anaknya itu dengan erat.

"Tante... sesak." Tante Liana melonggarkan pelukannya dan berlanjut mengecup Raga dengan intens.

Aku menarik nafas lega. Dan bersorak panjang dalam hati. Aku. Tidak. Akan. Masuk. Penjara. Di. Usia. Muda.

Aku menekankan kalimat penolong itu berulang-kali.

"Tante, kok kesini?" Tante Liana menarik tangan Raga dan dia dekap. "Tante dengar kamu kecelakaan kecil. Tante lari cepat-cepat kemari karena khawatir dengan anak tante," tante Liana mengecup telapak tangan Raga.

"Tante.. nanti aku ditendang Krayola karena dituduh ngambil mamanya," Tante Liana mencium kening Raga lama.

"Raga, kamu niatan ganti perawat? Ara sudah tidak becus lagi?" Tanpa sungkan tante Liana menanyakan hal itu pada Raga.

Aku menegang. Seketika semua jemariku mendingin. Jujur, untuk dipecat? Aku belum siap. Aku menikmati kenyamanan semu ini saat bersama Raga.

"Nggak! Raga nggak mau Ara diganti. Tante.." Raga melenguh panjang. Aku berdiri tidak jauh dari mereka. And see? Tatapan tante Liana mengarah padaku.

"Tapi dia sudah tidak becus merawat kamu! Tadi tante lihat diCCTV dia bahkan lari saat kamu meminta tolong!" Raga menggeleng tegas.

"Tante. Raga memang tidak bisa melihat. Tapi Raga punya mata yang lain yang bisa ngerasa kalo apa yang ada dikepala tante, atau gambar yang tertangkap di CCTV itu nggak semuanya benar."

Raga menarik nafas. Meremas jemari tante Liana.

"Ada kalanya, sesuatu harus dinilai dengan sentuhan. Kaya kejadian barusan, tante pikir ini murni salah Ara. Tapi tante salah, karena Raga yang mulai. Tante. Tante nggak akan pernah ngerti sebuah situasi that you've never been in. Jadi, jangan pecat Ara."

Aku pastikan. Itu kalimat terpanjang yang pernah aku dengar dari mulut Raga. Dan,

Menakjubkannya lagi, dia mengatakan kalimat sepanjang itu hanya demi membelaku. Raga is my savior!!

Tante Liana bangkit dari ranjang Raga. Memperbaiki bajunya dan dengan anggun berjalan kearah pintu.

"Satu kesempatan lagi dan, mungkin tidak akan sama sekali," diujung pintu sana, tante Liana mengkode semua orang untuk pergi meninggalkan kami berdua.

Aku berjalan pelan mendekat, dan dengan cepat langsung masuk kedalam pelukannya. Menangis sejadi-jadinya, karena rasa bersalah yang menggeruguti.

Aku tidak menatap mata Raga, tapi terus memeluknya seolah hari esok tidak akan datang. Aku takut sekali, menghadapi kenyataan bila tadi Raga tidak sadar.

Into The Eyes(✔️)REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang