9. Kecerobohan.

142 8 1
                                    

Hari ini, adalah hari yang lumayan panjang. Waktu menunjukkan pukul sepuluh, namun Raga masih terjaga. Tidak seperti biasanya dia akan berpura-pura tidur pada jam sembilan.

Dan aku pulang. Namun kali ini, Raga tidak lagi berpura-pura. Dia duduk diatas ranjang sambil menatap kosong kedepan.

"Ara, deketan sini," aku menguap. Sudah kali keberapa aku menguap.

"Ini aku deket," aku menggeser ke sampingnya, duduk diatas ranjang dengan tangan memegang tangannya.

Dia tidak mau aku lepaskan tangannya, bahkan setelah makan malam, dia juga terus memegang tanganku.

Pikiranku sedikit berkelana kesaat tante Liana memohon padaku. Dan tekadku, aku akan melakukan apapun yang terbaik untuk mereka.

"Ga, ini udah jam sepuluh, tidur ya.." Pintaku padanya. Raga berbaring. "Jangan pergi sampe aku tidur ya,"

"Iya. Gabakal." Aku mengelus rambutnya. Raga juga melakukan hal yang sama denganku, dia mengelus rambutku.

"Ga, jangan gituin rambut aku. Aku nanti ngantuk," dia tertawa.

"Yaudah merem dong sayang! Eh," Raga kembali tertawa.

"Iya-iya sayangkuh," Raga tersenyum jail. Sementara kedua pipiku merona.

"Ga tidur ya," dia mengangguk. Kasur empuk, suhu kamar yang pas, ketenangan yang aku rindukan. Benar-benar suasan impian.

"Aku menatap kearah Raga yang mulai menutupi matanya. Tangannya tergenggam dengan tanganku."Good night my big baby," aku mengecup pelan keningnya.

Terlalu banyak cobaan yang tuhan beri padanya. Baru saja meregangkan otot-ototku, Raga menarik lenganku.

"Aku 'kan belum tidur!" Aku menghela nafas pasrah.

Untung sayang, ganteng juga.

"Ra, biasanya kamu pulang naik apa kalo udah malam?"

"Bang gojek,"

"Nggak dingin?" Aku menggeleng, "Dikasih jaket," dia mengangguk. Tanpa sadar, kini posisiku sudah ikut berbaring dengannya.

Dengan tangan yang masih belum dilepaskan. "Bang gojeknya ganjen nggak?" Aku menggeleng.

"Bang gojeknya nggak ganjen. Pacar aku yang ganjen," dia tersenyum. Dengan tatapan kosong dia menatap langit-langit kamar.

"I love you,"

Waktu seolah berhenti. Semuanya tabu. Udara yang lewat juga berhenti. Aku seperti mati. Sesaat, aku mengerjapkan mataku dua kali.

"Ga,"

"I love you," dia berucap lagi. Ternyata apa yang dikatakan tante Liana memang benar.

"Kamu tau? Nggak butuh waktu lama buat jatuh cinta sama kamu," aku menegang. Jari jemari tangan dan kakiku dingin.

"Padahal pertama kali kamu datang, aku pikir kamu cuma mau duit. Nggak bakalan mampu sama orang keras kepala kaya aku," aku tak mampu berucap.

Ada apa ini? Pikiranku terus berkelana. "Ra, kita batalin kesepakatan yuk? Kita buat kesepakatan resmi yang baru," mataku kembali mengerjap.

"Tapi, kalo kamu bakalan malu hidup sama orang buta kaya aku. Gak pa-"

"Ga!" Jujur, aku tidak suka saat dia kembali meremehkan dirinya. Aku tidak suka.

Tangan Raga tergerak mengelus kepalaku, elusan yang lembut membuatku sangat mengantuk.

"Ra,"

"Ngantuk Ga. Diem ya,"

Into The Eyes(✔️)REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang