Seminggu sejak kejadian Bintang atau Raga, Raga bertingkah semakin posesif. Padahal jawabanku saat itu adalah, aku memilih bintang dibandingkan dirinya.
Tapi dia dengan keukeh mengatakan bahwa itu sebenarnya aku memilihnya, hanya saja aku malu untuk mengutarakannya. Tapi sejujurnya, dia mengatakan hal yang benar.
Sama seperti siang ini, kami berdua duduk ditaman mawar dan dia dengan aktif meminum segelas es kelapa muda hasil abang-abang yang jauh di sana.
"Seger tau es-nya , Ra," aku mengangguk. "Iya. Banget."
Kami kembali makan hingga telepon genggam di saku bajuku berdering. Aku mengangkatnya, dan dengan ceria menyapa.
"Halo mah! Ara kerja,"
"Durhaka kamu jadi anak, tua bangka meninggal!" Aku terkaget. Tanganku bergetar, jantungku seolah berhenti berdetak.
Tua bangka meninggal. Papa meninggal!
Satu
Dua
Tiga
"PAPAH!!!" Air mataku mengalir tak terhenti, aku membuang gelas es kelapa yang aku minum bersama Raga tadi hingga pecah.
Aku tak lagi mementingkan akan apa, dampak apa yang akan terjadi, atau hal-hal lain yang bisa-bisa saja menerobos otakku.
Hanya ada satu hal yang terpikirkan dibenakku ; Papa.
"Ara, Papa rindu ibu,"
"Anak papa sudah besar, Ara harus jadi orang hebat!"
"Ara, masakan ibu enak yah? Besok- besok kita piknik dengan masakan ibu,"
"Ara, juara berapa? -Papa sangat bangga!"
"Ara, ayo lakukan yang terbaik untuk ibu, ibu akan sangat bangga pada Ara,"
"Papa sayang Ara,"
"Ara, tante ini akan jadi mama baru Ara. Ara harus terima ya!"
"Ara!!"
"Ara, papa minta maaf. Ara mau 'kan memaafkan papa?"
"Ara mau 'kan merelakan masa kulaih Ara?"
"Ara, papa akan ke Kalimantan. Papa titip mama sama adekmu ya,"
"Ara,yang kuat disana yah nak. Papa akan segera pulang."
"Anak papa nggak boleh cengeng,"
"Papa akan kirim duit setiap bulan,"
"Bulan ini papa kirim dua ratus 'kan? Bulan depan pasti naik seratus hingga seterusnya,"
"Mama sama adek Irene baik 'kan?"
"Ara! Jangan menangis,"
"Papa akan segera pulang. Secepatnya,"
"PAPAAAA!!" Air mataku menetes, aku berlari keluar rumah dan berlari kencang hingga kegerbang utama, tanpa sendal.
Aku tidak mementingkam teriakan Raga yang mencoba menghentikanku. Papa lebih pentinh diatas segalanya.
Telapak kakiku sakit, tapi hanya ada satu hal yang harus aku tau, kalau papa butuh aku.
"Papa!!" Aku menangis, satu-satunya sistem yang menyuportku tiada, lalu untuk apa aku tersenyum dan bahagia?
Aku menahan sebuah taksi, cara untuk kembali pulang, karena aku tak sempat memesan ojek online.
Papa, tunggu Ara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into The Eyes(✔️)REVISI
Romance•[COMPLETED]• "Aku tidak pernah ingin apapun selain membuatmu bahagia. Setidaknya,saat dirimu dengan semangat menggebu-gebu mengatakan hal-hal indah, aku ingin matamu juga menyiratkan hal yang sama." Ara adalah gadis biasa-biasa saja yang berjuang u...