11. Hari pertama bersama 'mata baru'

159 12 0
                                    

Raga dengan semangat menggenggam erat tongkat barunya. Bukan sangat baru, tapi tongkat yang harusnya tiga bulan yang lalu sudah bersamanya.

Nasib tongkat itu tidak begitu miris,tongkat yang didesain langsung itu berakhir didalam gudang. Dan pagi ini aku menyelamatkannya.

"Gimana, gimana cara makenya, Ra?" Aku menongka dagu dengan telapak tanganku. AHA! Internet!

"Bentar,  bentar, aku browsing di om-ku dulu," Kening Raga mengerut. "Om kamu kesini?"

Aku tertawa, "Duh, kudet ya kamu! Om aku itu Google! Hihihi,"Raga terdiam.

Akupun.

"Ga, maaf ya, aku ada salah kata ya?" Aku memukul kepalaku, seharusnya tidak usah bertanya.

Aku langsung memeluknya dan tawa gelegar Raga terdengar begitu jelas ditelingaku.

"Aku nggak marah, padahal," Dia menutup mulutnya yang terus tertawa. Sementara aku mencebikkan mulutku.

"Ih! Dapat pelukan gratis dong? Nggak ikhlas aku!" Raga kembali tertawa,"Ambil aja, tapi katanya kalo ngambil pelukan harus dipeluk lagi, supaya pelukannya ketarik gitu,"

Raga mengucapkan kalimat itu dengan keseriusan yang tercetak jelas. Meski tatapannya tidak memiliki arti, tapi garis-garis wajahnya seolah meneriaki keseriusan.

Aku berpikir sejenak, kemudian menggeleng tegas. Ucapan Raga seperti...

"NGGAK! Kamu mau nipu aku 'kan? Biar dapet pelukan gratis yang double! Ih Raga nggak modal!"

"Ih, pacar aku pinter banget ya, sini cium dulu," aku mendorong kepalanya, "Enak aja!"

Dan ringisan kecil dari Raga membuatku tak bergerak,"Ga?. Raga?"  Dia masih terus terpaku pada tatapan kosong dengan tangan memegang kepala.

"Ga!" Aku memeluknya, begitu erat hingga akupun tak bernafas.

"Aku, pusing. Kita duduk dulu ya?" Aku membawanya duduk disebuah tempat. Dan memegang tangannya.

"Ra, warna apa yang paling kamu suka?" Dia tersenyum.

"Ih! Raga! Kamu nggak papa? Kenapa tiba-tiba nanya?" Dia menggeleng.

"Nanya doang gak boleh?" Aku menggeleng.

"Aku suka warna biru. Biru punya arti yang luas." Raga melonggarkan genggaman tangannya.

"Kalau aku malah takut warna biru. Nggak takut-takut banget sih, tapi agak nggak suka aja," dia menyandarkan kepala dipundakku.

"Hah? Kok gitu? Biru 'kan nggak pernah nyakitin kamu,"

"Tapi, biru selalu sial. Pertama kali aku kena sial itu dilaut. Umur aku lima tahun. Main air dan keinjak sesuatu, bekasnya sampe sekarang," Raga menunjukkan telapak kaki kanannya,ada garis panjang yang melengkung.

"Jadi?" Aku meraba garis itu. Dan tersenyum hangat.

"Jadi, ya karena laut itu biru, aku jadi nggak suka sama biru. Aku bilang kalau biru itu bawa sial." Aku tertawa.

"Padahal mitos-nya kamu bikin sendiri ya, hehehe," dia mengangguk dan menenggelamkan wajahnya diceruk leherku.

"Ra," aku mengelus punggungnya. Ragaku, dia seperti bayi.

"Kalau nanti aku bisa lihat. Nikah yuk," aku tersedak. Ucapan Raga akhir-akhir ini kadang menerbangkanku hingga keawan-awan.

Dan kadang lagi, menusukku hingga ingin muntah kebahagiaan.

"Ga! Apaan sih! Kamu mah ngaco deh," aku mencoba mengalihkan pembicaraa. Dengan harapan Raga akan ikut mengalihkan pembicaran.

"Udah yuk, kita coba pake tongkatnya," dia menggeleng. Menahan lenganku.

Into The Eyes(✔️)REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang