14. Dua minggu tanpa kabar.

145 12 0
                                    

Nikmati pengalaman membaca yang luar biasa dengan memainkan mulmed diatas!!


Dua minggu setelah papa benar-benar pergi. Semuanya kelabu, namun aku berpegang pada sebuah pepatah.

'People leaves memories stay'

Iyakan? Dan meskipun papa sudah pergi, hidup harus tetap berlanjut. Tidak masalah sehancur apapun dalamku, tetapi luarku harus tetap membuat semua orang bahagia.

Aku melangkah keluar, jam 6 pagi. Menaiki taksi menuju rumah Raga.

Pintu pagar terbuka, aku menerobos dan masuk lewat pintu belakang. Rasanya, setelah dua minggu meninggalkan rumah ini, rasa asing kembali menyeruak.

"Pagi bi," ucapku mengagetkan, Bi Inang bahkan terkejut atas kehadiranku.

"Ya tuhan gusti! Nona Ara kembali!" Teriak bi Inang kencang. Aku bahkan tersenyum dan berbisik pelan.

"Duh bi, jangan berisik. Nanti pada bangun... sstt," dia mengangguk. Aku menempatkan tasku dikamar pembantu.

"Raga apa kabar? Sehat 'kan bi?" Seketika wajah murung tercetak jelas diwajahnya.

"Nona Ara harus liat sendiri. Dia kembali," ucapan bi Inang menakutiku. Siapa? Siapa yang kembali!

Aku berlari dan naik kekamarnya, membuka pintu kamar dengan pelan.

Gelap. Bi Inang benar, dia kembali. Dan ini salahku.

Aku berjalan pelan. Pecahan beling terhambur dimana-mana. Apa lagi yang kamu pecahkan?

"SIAPA KAMU?! KELUARRRR!" Teriaknya. Dan seperti biasa, aku membiarkan cahaya matahari masuk kekamarnya. Tanpa memedulikan ucapannya.

Dia mencoba turun, tetapi kutahan. Wajahnya berantakan.

"Kubilang keluar! Dan jangan sentuh apapun!!"

Aku memegang tangannya yang memberontak. "Hey, ini aku. Ara." Ucapku. Dia tenang, namun gerakannya seperti takut.

Lalu aku memeluknya. "Kenapa seperti ini lagi?" Tanyaku pelan. Dia masih dalam pelukanku.

Dia masih tidak menjawab, berusaha mengunci rapat mulutnya. "Ga, ini aku Avera," ucapku lagi.

Aku berusaha menariknya kedalam pelukan. Selain Papa, aku punya laki-laki yang harus kulindungi setelah papa tiada.

"Kamu," suaranya yang tenang membuatku tersenyum samar.

"Pergilah dari sini," dan kemudian, lanjutan dari kalimatnya menghancurkan keinginan hidupku yang telah tinggal sebagian.

Tidak ada lagi bu, habis, hancur, hilang.

Aku meneteskan air mata. Apakah merenggut orang yang aku sayang adalah hobimu tuhan?

Apakah membuat diriku tersiksa begitu menyenangkan?

Aku mencoba berpikir jernih. Mungkin Raga hanya kecewa karena dia kutinggal selama dua minggu tanpa kabar dan kepastian yang jelas.

Tapi apalah dayaku yang hanya bagian dari pelayannya? Mungkinkah aku bisa berharap besar padanya bahwa aku bisa mendapatkan setidaknya sebuah ruangan dalam hati dinginnya?

"Raga, aku minta maaf. Tapi bukan ini cara menyelesaikan masalah," Raga tersenyum.

"Masalah? Memangnya ada masalah apa? Kita bahkan bukan apa-apa. Kamu hanya pelayan lancang yang terus melanggar batasanmu 'kan?"

Dia hampir bukan Raga yang aku kenal. Meski sebelum kami terdengar dekat, dia sering memakiku,

Dimaki, direndahkan bagai kotoran itu sudah biasa. Entah kenapa kalimat itu keluar dari mulut Raga dan rasanya seperti menelan pil kematian.

Into The Eyes(✔️)REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang