Mudik

20 1 0
                                    

Semua barangku sudah dimasukan dalam tas, titipan kakak dan mbakyu sudah dirapikan. Tak kusangka aku mudik lebaran seperti orang-orang rantau umumnya, tapi aku mudik hanya sendirian. Kakak dan mbakyu mudiknya h-2, maklum kakak tidak ambil cuti lebaran tahun ini.

" dek.... cepat......! kakak dah nunggui dari tadi. Teriak mbakyu dari teras rumah.

Mendengar teriakannya aku buru-buru bergegas keluar, para keponakan masih tertidur. Aku berangkat pagi-pagi diantar kakak ke stasiun Depok baru sekalian kakak berangkat kerja.

Sebelum jam 6 pagi stasiun sudah mulai ramai oleh para pekerja yang mengais rezeki di kerasnya kehidupan ibu kota, termasuk kakakku yang bekerja di daerah Priok. Kereta yang ditunggu datang, kami berdesak-desakan masuk ke dalam kereta. Untungnya bersama kakak, ia yang mencarikan celah agar dapat masuk ke tengah gerbong.

Perjalanan kereta sekitar 40 menit sampai di stasiun Juanda, stasiun tujuanku. Sedangkan kakak melanjutkan sampai stasiun Kota, stasiun paling ujung. Aku turun di stasiun Juanda dan naik bajai ke stasiun Gambir tak lebih dari 10 menit. Stasiun gambir sudah ramai pemudik. Jam tanganku menunjukan pukul 7 kurang 8 menit. Aku bergegas ke lantai dua.

Para pemudik mengantri tiket panjang mengular. baru kali ini aku merasakan mudik. Para petugas nampak sibuk, beberapa aparat keamanan disiagakan. Aku bingung harus mengantri di loket yang mana. Sedangkan berjalan pun harus hati-hati. Banyak orang duduk disembarang tempat. Kucoba mencari tahu, tapi yang kutanya sama bingungya. Sedangkan para petugas stasiun nampak sibuk karena tiba-tiba ada 2 kereta yang akan masuk dan para penumpang yang jumlahnya mungkin ratusan tampak berdesak desakan.

" Ya Allah...! tolonglah aku, mudahkan urusanku..." doaku dalam hati sambil menghampiri anggota keamanan yang tak jauh dihadapanku.

Tiba-tiba langkahku terhenti, " mau kemana ustadzah..... ? " aku tersentak mendengar suaranya, suara yang sama ketika aku menyimak tasmi'nya.

Aku membalik badan untuk memastikan suara itu, memastikan bahwa aku tidak bermimpi. Aku hanya bisa diam seribu bahasa ketika melihat laki-laki yang berdiri tiga langkah dihadapaku

Bagai mimpi disiang bolong, aku tak percaya. Kini ia berdiri di hadapanku dan menyapaku, baru kali ini ia menyapaku. Padahal disekolah ia selalu cuek jika berpapasan denganku. Aku bukan sedang bermimpi, kini ia berdiri disaat aku kebingungan harus bertanya kepada siapa. Seakan Allah mengutusnya sebagai jawaban doaku.

" ustadzah mau kemana .... ? " tanyanya diulang seakan aku tak mendengarnya tadi. Aku gelagap tak bisa menjawab, lidahku kelu .

" kreta yang jam berapa ? " tanyanya lagi memastikan pertanyaan tidak salah.

Dengan dada yang masih berdegup kujawab pertanyaan dengan singkat

" kereta expres jam 8 " .

" tunggu sebentar..! ustadzah jangan kemana-mana.! " perintahnya.

Aku diam mematung seperti terbius dengan perintahnya. Ia mengambil hp di saku celananya. Aku hanya memperhatikannya, seperti anak kecil yang takut kehilangan orangtuanya di keramaian. Ia sedang berbicara dengan seseorang dengan bahasa sunda, suaranya terdengar jelas. Sepertinya meminta tolong kepada saudaranya. Waktu terus berjalan, aku hanya diam berdiri sedangkan ia sepertinya menunggu seseorang. Kepalanya tengok kanan-kiri mencari cari seseorang yang ditunggu.

Suasana stasiun makin ramai. Tiap tiap loket masih penuh dengan antrian. Tak selang lama kemudian datang seorang petugas stasiun dengan seragam dinasnya, masih muda orangnya, mereka berjabat tangan dan berbicara sebentar

" ustadzah....! ini kakak sepupuku " ia mengenalkan saudara sepupunya yang ternyata salah seorang petugas stasiun.

" ustadzah ngga usah hawatir nanti beliau yang mengurus tiketnya. "

Dua SisiWhere stories live. Discover now