Pengabdian

15 1 0
                                    

Hari-hariku dirumah seakan sepi walau orang ramai datang silih berganti, saudara, kerabat, teman orang tua dan tetangga. Mendung masih menggelayutiku walau dilangit terang cerah disapu sinar mentari. Niat menghubungi murobi kuurungkan, ingin menyampaikan ke Mamah dan Abah tak tega. Kini aku benar-benar pasrah, pasrah pada kuasa Allah.

Tujuh hari bada lebaran aku harus bergabung denggan pesantren yang baru dirintis, mungkin besok pagi atau siang aku harus segera berangkat. Kabarnya ada 18 santri baru sebagai awal pembelajaran.

Dengan diantar oleh segenap anggota keluargaku ke tempat mengabdi yang baru, tempat untuk mengabdikan diri pada para generasi penerus, mengabdi pada tunas-tunas baru yang akan menegakan dan mengharumkan agama dan bangsa ini. Mencetak para penghafal Al-Qur'an sebagai landasan pertama dan utama untuk melangkah meraih cita-cita, sebagai langkah awal untuk membuka ilmu-ilmu yang lain. Aku bergabung dengan pesantren baru ini bukan sekedar mengamalkan ilmu, bukan hanya sekedar mencari maisyah, bukan sekedar mencari penghidupan dunia semata, bukan hanya sekedar menuruti titah sang guru. ada yang lebih besar dari semua itu. Panggilan jiwa untuk beribadah kepada yang menciptakan ruh dan jasad, yang memberikan ilmu dan pemahaman demi para generasi penerus agama ini.

Tempat yang kami tuju sudah di depan mata, berangkat selepas dzuhur dan sore menjelang maghrib kami baru tiba. Dengan beberapa kali nyasar dan bertanya-tanya. Pesantren dengan bermodal tiga bangunan, masjid, gedung asrama dua ruangan dan gedung sekolah satu ruangan, masih sepi karena dua hari di depan baru akan mulai masuk santri baru. Dan bermodalkan tiga orang guru termasuk aku dan mudir. Aku dan keluargaku disambut sang mudir pesantren yang tak lain adalah anak dari guruku. Ia sudah berkeluarga dengan satu anak yang masih berumur 6 bulan. Selepas maghrib keluargaku kembali ke Panjalu, aku meminta doa dan restu Abah, Mamah, meminta doa khusus agar mengakhiri masa lajangku sebelum lebaran haji karena doa kedua orangtua sangatlah mustajabah.

Malam pertama di pesantren baru, shalat isya berjamaah hanya empat orang, selepas isya kami ngariung membahas rencana dua hari kedepan untuk menyambut para santri baru. Jam sepuluh malam rapat kami sudahi, sang mudir pulang ke rumahnya yang tak jauh dari masjid, dua orang lagi beranjak ke asrama. Tinggal aku sendirian di masjid, merebahkan punggungku di atas karpet masjid, mengingat segala yang telah kulalui beberapa bulan ke belakang, mengingat segala peristiwa yang terjadi pada diriku. Ingatanku berhenti pada masjid dimana aku iktikaf selama lima hari. Mengingat keakrabanku dengan keluarga kakak ' dia ', dengan kedua keponakannya yang antusias untuk mengaji. Ingat akan penawaran kakaknya untuk dijodohkan dengan adiknya. Ingat akan peristiwa di Cirebon yang menyayat hati dan membawa duka nestapa. Tapi itu sudah berlalu, nasi sudah menjadi bubur. Biarkan itu menjadi kenangan saja, yang telah mengisi lembaran-lembaran perjalanan hidupku. Aku harus optimis menatap masa depan, mengayuh hidup baru, melangkah untuk terus meraih segala cita dan harapan.

Jam dua malam aku terjaga setelah mendengar bunyi alarm hp, tak kusadari aku tertidur di masjid. Masih ada dua jam setengah sampai subuh nanti kan kuisi dengan qiyam dan murojaah. Segera kuambil air wudhu dingin menyegarkan, membangkitkan jiwa yang lemah. Bertaqorub pada yang Maha Kuasa, yang mengatur segala yang ada di alam ini

Dua SisiWhere stories live. Discover now