Catatan : Karena cerita ini sedang dalam masa revisi (proses penerbitan) makanya aku republish. Ingat, ini bukan cerita baru. Hanya saja aku update kembali biar kalian nggak lupa dengan alurnya.
*****
Fajar itu jahat--sejahat-jahatnya. Dia hobi menyiksa. Putar-putar mal, pindah dari satu etalase ke etalase lain, dari satu lantai ke lantai lain. Pilihannya hanya jatuh sama boneka Teddy Bear yang tokonya sudah tiga kali kami lintasi. Sompret!
Sejak keluar dari mal sampai tiba di rumah Wulan, aku memasang wajah judes sama Fajar. Godaan-godaan Fajar sama sekali tidak kudengar. Biar, biar saja dia tersiksa sama rasa bersalah.
Menerobos masuk kamar Wulan, sahabatku yang baru saja memulai status jomblonya itu sedang tiduran sambil bermain dengan ponsel pintarnya.
"Kenapa sih, tuh muka gak enak dipandang banget?"
Duduk di sebelah Wulan, mengambil boneka bantal berbentuk kepala doraemon untuk kudekap. "Si Fajar tuh ngeselin. Dia ngajak muter-muter ke mal cuma buat beli Teddy Bear yang bakal dia kasih pas nembak gebetannya."
"Dia 'kan nyusahin," sahut Wulan, tertawa geli.
"Ya lo gak tahu aja, gue tuh nahan rasa cemburu sama ceweknya."
"Wait? Apa lo bilang?" Wulan langsung terduduk sambil menatapku intens.
Sementara aku gelagapan, dan yakin kalau wajahku sudah semerah tomat. Sial! Kenapa harus kelepasan sih?
"Bilang apaan? Gue kesel sama Fajar, udah gitu doang."
"Jelas-jelas gue denger lo cemburu, lo suka Fajar, Za? Lo cinta sama dia?
"Nggak."
Aku mengelak. Curhat sama sahabat memang sedikit banyak bisa membuat lega pikiran. Tetapi, kalau curhatnya soal Fajar--yang juga temannya Wulan, itu pengecualian. Bukan tidak percaya, takutnya kalau kami--aku, Wulan dan Fajar lagi jalan, Wulan keceplosan bilang tentang perasaanku. Kan bahaya!
"Bohong. Terus kenapa pipi lo merah gitu? Kok gue bisa gak ngeuh ya kalau sahabat gue yang manis manja ini suka sama si Tongkat Fir'aun yang gak ada manis-manisnya gitu. Jangan-jangan lo kena pelet jaran goyang dia lagi, Za?"
"Zaman now masih pake pelet? Gak zaman kali, Lan."
Wulan berdesis dan melemparku dengan guling. "Terus Fajarnya mana?"
"Lagi main PS tuh sama adek lo," jawabku sambil berbaring.
Wulan ikut berbaring di sebelahku, melirikku dengan penasaran. "Sejak kapan sih lo suka sama Fajar? Kita udah bareng-bareng hampir tiga tahun. Dan lo jomblo juga baru tiga bulan yang lalu."
"Lo pernah denger gak, kalau cinta bisa tumbuh karena kebiasaan? Kebiasaan bersama, kebiasaan lihat wajahnya tiap hari. Kebiasaan ketawa bareng, bercanda bareng."
"Gue juga ngerasa gitu pas dulu ke Lian," jawab Wulan. Walaupun dia cerewet, tapi Wulan pendengar yang baik.
"Nah, gue juga ngerasa gitu. Ada rasa yang tiba-tiba hadir di hati gue buat Fajar tanpa bisa gue tolak. Dan mungkin rasa itu muncul sebelum gue putus sama mantan gue yang terakhir."
"Jangan-jangan lo putus bukan karena lo jenuh sama dia, tapi karena lo suka sama cowok lain. Yang sayangnya teman dekat lo sendiri?"
"Gak gitu, Lan. Gue emang udah bosen sama dia. Hubungan kita tuh kayak monoton aja. Kita sering ribut cuma karena hal sepele. Gue juga ngerasa jenuh sama komunikasi kita yang terkesan kekanak-kanakkan. Tiap hari dia nanya, lagi apa? Sama siapa? Di mana? Udah makan belum? Kalau kita LDRan mah sah-sah aja karena gak tatap muka tiap hari. Dia juga gak suka kalau gue nongkrong bareng lo sama Fajar. Gue gak suka kalau ruang gerak gue dibatasi. Sementara gue gak pernah sedikit pun ngelarang dia buat nongkrong sama teman-temannya pecandu rokok itu. Oke, kita komitmen tapi gak mungkin tiap hari gue pacaran terus sama dia kan? Gue punya teman, gue punya aktivitas sendiri, kehidupan sendiri yang gak bisa terus sama dia. Jadi ya udah, gue milih mundur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen Idola (Sudah Terbit)
ChickLit[TERSEDIA DI SHOPEE] Punya dosen ganteng tapi kejam, otoriter, pelit nilai, tengil... Basmi aja! Kalau dipelihara tidak akan baik untuk kesehatan otak. Itu yang selalu Khanza deklarasikan. Mahasiswi semester 5 yang SANGAT TIDAK terobsesi pada dosen...