Kadang, sendiri di kosan itu bikin galau. Pikiran bercabang ke mana-mana. Tujuannya tidak terarah, detik ini memikirkan ini, detik berikutnya memikirkan itu. Yang paling baik saat malam hari--dengan alunan gerimis yang menemani, adalah menonton drama Korea.
Kosanku itu tidak pernah sepi sebenarnya, total kamar ada enam belas. Delapan di atas dan delapan lagi di bawah. Letak kamarku berada di lantai bawah, tepat di tengah-tengah. Kalau terlalu belakang, takut. Terlalu depan, berisik sama kendaraan.
Dari pagi sampai malam selalu saja ada yang menyetel musik dengan volume yang keras, sedikit terganggu sebenarnya. Tetapi kalau aku menegurnya dikira tidak sopan, karena yang menyetel musik keras-keras itu kakak tingkat. Nah, aku sebagai junior bisa apa selain pasrah?
Drakor While You Were Sleeping baru kutonton sampai episode 7. Aku lagi memiliki kesibukan yang cukup padat, selain itu beberapa tugas mulai berdatangan.
Jangan dikira jadi mahasiswa itu sepele kayak di FTV ya. Pulang kuliah bisa shopping atau santai-santai. Beuh, aslinya tidak seperti itu. Mahasiswa dan tugas itu tidak bisa dipisahkan. Padahal dulu waktu SMA, maunya cepat-cepat kuliah. Ternyata kalau sudah dijalani, tidak lebih baik dari zaman sekolah.
Tok... Tok...
"Ya, masuk." Aku mem-pause drakor yang sedang kuputar.
"Teh, ada tamu yang nyari," kata Wilda––mahasiswa Akuntansi semester 1.
"Siapa?"
"Gak tau. Cowok, Teh. Ganteng banget," katanya dengan binar memuja.
Cowok? Ganteng? Fajar? Ah, masa iya?
"Maksud kamu Fajar? Yang sering ke sini, Wil?"
"Ih, bukan atuh, Teteh. Ini mah lebih ganteng dari A Fajar."
"Ya udah, nanti aku ke depan. Makasih ya, Wil."
"Sama-sama, Teh. Wilda ke kamar lagi ya?"
"Oke."
Siapa gerangan yang bertamu malam-malam seperti ini? Selain Fajar, aku memang kadang chat sama beberapa cowok. Tapi tidak berani sampai kasih tahu alamat kosan. Bisa dimusuhi Ayah kalau sampai dia tahu aku sering memasukkan cowok ke kosan.
Fajar saja yang notabene teman dekatku dan sudah kenal sama Ayah, sering kali aku kena teguran. Bilangnya, bukan mahram lah, tidak enak sama penghuni kos yang lain lah. Padahal aku sama Fajar tidak berbuat mesum kok. Astagfirullah, posesifnya Ayah memang kadang berlebihan.
Aku mengambil sweater dan mencepol rambut dengan asal. Saat membuka pintu depan, aku melihat Arkan sedang duduk di kursi rotan beranda kostan. Kosanku memang seperti rumah kalau dari depan.
Ada beberapa pertanyaan yang masuk ke otak, yang terpenting tujuan dia ke sini apa coba? Aku berdeham pelan. Sumpah, baru kali ini aku disambangi dosen. Apalagi dosen yang bentukannya seperti Arkan.
"Pak?"
"Eh, Za. Sorry mampirnya gak bilang-bilang," ujarnya, sudut bibirnya tertarik ke atas sedikit. Oh my God, senyum tipisnya manis. Oh, Shit! Pikiran macam apa itu? Enyahkan Khanza!
"Ada perlu apa Bapak ke sini?" tanyaku dengan ragu duduk di sebelahnya. Beruntung ada meja yang menyekat jarak.
"Wah, tadinya saya mau basa-basi dulu. Ternyata kamu langsung to the point." Dia terkekeh. Lalu mengambil sesuatu dari bawah sebelah kirinya.
"Payung kamu ketinggalan di mobil saya kemarin," katanya sambil menyimpan payungku di atas meja.
Aku melongo, merutuki kebodohanku yang berpikir macam-macam. Tadinya aku pikir, Arkan sengaja menemuiku ternyata cuma mau mengembalikan payungku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen Idola (Sudah Terbit)
ChickLit[TERSEDIA DI SHOPEE] Punya dosen ganteng tapi kejam, otoriter, pelit nilai, tengil... Basmi aja! Kalau dipelihara tidak akan baik untuk kesehatan otak. Itu yang selalu Khanza deklarasikan. Mahasiswi semester 5 yang SANGAT TIDAK terobsesi pada dosen...