"Nah, ini dia tersangka utamanya."
Aku mengangkat kepalaku saat suara heboh itu memenuhi telinga. Kesibukanku yang semula berselancar di dunia maya--dengan ponsel yang letakkan di atas bangku kelas yang sempit, kini teralihkan karena Wulan datang.
Kembali ke persoalan, sebenarnya aku masih belum sepenuhnya move on dari kejadian kemarin. Masih ada kreyes-kreyes sakit di hati mengingat kata-kata Fajar untuk Wulan kemarin. Bayangan Wulan menerima ungkapan cinta dari Fajar terus saja menghantui. Dan mungkin, apa yang aku takutkan sudah terjadi kemarin?
Aku tidak balik menyapa Wulan, dan lebih memilih untuk melanjutkan stalking cowok-cowok ganteng di Instagram.
"Za, kemarin abis dari mana? Gue telponin gak lo angkat terus, abis itu tiba-tiba HP lo gak aktif. Pas gue ke kosan, lo nya gak ada. Kayak hilang dari peradaban Millenium," cerocos Wulan.
"Gue kemarin cuma jalan-jalan doang," jawabku, setengah jujur. Karena aku memang jalan-jalan kemarin. Akan tetapi, dengan siapa aku pergi? Wulan tidak harus tahu. Bisa-bisa aku dibully olehnya.
"Jalan-jalan ke mana?" Wulai mulai aksi keponya.
"Ya, jalan-jalan aja. Refreshing. Cari yang bening-bening," godaku mencolek dagu Wulan.
Sahabatku itu sontak mengusap dagunya. "Bukannya lo juga jalan-jalan sama yang bening?"
"Hah?" Aku tersentak. Jantung mempompa darah lebih cepat, debarannya begitu keras. Aku takut kalau Wulan sampai tahu bahwa kemarin itu... Aku pergi bersama Arkan.
"Maksud lo?"
"Pemilik Honda Jazz putih dengan Nomor Polisi B 8112 GA. Lo pergi ke mana sama Pak--hfftt..." Kesigapanku untuk menutup mulut Wulan dengan telapak tangan. Sebelum dia menyemburkan lahar panas yang akan membuat semua orang yang sudah ada di kelas berhamburan ke arahku.
"Mulut lo, Lan!" bisikku penuh penekanan.
Wulan pelepaskan tanganku dengan kasar. Tatapan sebal juga dengan bibir yang mengerucut turut dia persembahkan untukku. "Jadi, beneran lo sama dia punya hubungan?"
"Ya nggaklah," sanggahku cepat. "Gue mana sanggup punya pacar tuir gitu. Yang seumuran masih ada kenapa harus cari laki-laki yang udah siap berumah tangga kayak dia? Bisa-bisa lelaki seumuran gitu tuh bukan ngajak pacaran, tapi ngajak nikah. Sedangkan gue masih mau main-main sama ngejar cita-cita gue."
"Laki-laki yang umurnya lebih tua itu justru bisa membimbing kita untuk bersikap dewasa, Za. Gue malah pengin punya cowok yang usianya maksimal lima tahun di atas gue. Sayangnya, Lian seumuran sama kita."
Wulan sama sekali tidak bahas soal Fajar. Mungkin dia belum tahu kalau ternyata aku mendengar semua percakapannya dengan Fajar kemarin di ruang UKM seni. Aku juga belum tahu status mereka kini seperti apa, apakah Wulan menolak atau mungkin menerima perasaan Fajar? Yang jelas, ada setitik rasa tidak ikhlas kalau mereka mengubah status pertemanan menjadi pacaran.
"Za? Woy! Malah ngalamun. Kade kasurupan." (baca : ngelamun. Hati-hati Kesurupan)
"Ngomong apa sih? Gak ngerti," protesku sinis. "Lagian ya, Lan. Biarpun cowoknya itu seumuran sama kita asalkan sikapnya lebih dewasa, fine-fine ajakan?"
"Iya sih, tapi kalau bisa gue suruh Lian balik lagi ke perut Ibunya terus dilahirin di tahun sebelum kita lahir," Wulan nyeletuk sambil tertawa.
"Mana bisa!" seruku. "Aneh lo. Lagian lo kan udah putus dari Lian."
"Bercanda kali, Za. Emosi gitu," cengirnya.
Aku hanya bergumam sebagai tanggapan. Terlintas dalam benak untuk jujur pada Wulan, kalau aku mendengar lebih tepatnya menguping pembicaraan Wulan dengan Fajar. Tapi, kalau bilang? Tengsin dong. Hayati lelah.
![](https://img.wattpad.com/cover/127614207-288-k929712.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen Idola (Sudah Terbit)
ChickLit[TERSEDIA DI SHOPEE] Punya dosen ganteng tapi kejam, otoriter, pelit nilai, tengil... Basmi aja! Kalau dipelihara tidak akan baik untuk kesehatan otak. Itu yang selalu Khanza deklarasikan. Mahasiswi semester 5 yang SANGAT TIDAK terobsesi pada dosen...