Kembali ke rutinitas mahasiswa--bangun pagi dan pergi kuliah. Perkuliahan tersisa seminggu lagi sebelum UAS. Bahkan sudah ada beberapa dosen yang sudah menyelesaikan mata kuliahnya minggu kemarin. Salah satunya Arkan. Sampai UAS--atau bahkan sampai semester akhir, aku tidak akan bertemu dia untuk mengajar di kelasku. Katanya, dia hanya ditugaskan untuk mengajar di semester empat dan semester lima. Namun, tidak menutup kemungkinan dia mengajar lagi di semester enam untuk tahun ajaran baru.
Harapanku jangan! Iya, Arkan lebih baik tidak mengajar di kelasku lagi.
Berjalan bareng Wulan menaiki tangga sambil diiringi obrolan dan tawa santai. Ruangan kelas yang berada di lantai dua membuatku harus sedikit berolah raga. Tampak dari jauh, sosok lelaki yang berdiri membelakangiku itu sangat familiar. Lelaki itu sedang ngobrol dengan Intan.
Intan? She's annoying.
Ini yang membuatku ragu. Arkan bilang, dia tidak suka melihatku bercanda dengan Fajar. Lalu dia? Tidak jauh beda denganku bukan? Huh, ada sesuatu yang tiba-tiba menyergap dalam hati. Ketidakrelaan menelusup tanpa izin sampai aku tidak kuasa buat melangkah. Aku mendengkus pelan, mencoba menyangkal setitik rasa panas dalam hati. Lalu berbalik badan seraya menarik lengan Wulan.
"Eh, Za? Mau ke mana?" tanya Wulan kaget.
"Toilet bentar yuk! Gue kebelet," dustaku. Padahal aku cuma ingin menghindari kedua orang yang asyik ngobrol tanpa memperhatikan sekitar.
"Yaelah, kenapa gak dari tadi? Kan toilet kelewat, Za." Wulan mendumel.
"Tadi belum terlalu pingin, Lan."
Seketika Wulan menghentikan langkahnya, saat aku menoleh dia senyum-senyum tidak jelas. "Ah, gue tahu. Lo pasti cemburu kan lihat dia sama Intan lagi ngobrol?"
"Nggak," elakku. Kukira Wulan gak melihatnya.
"Bohong," godanya mencolek pipiku.
"Apa sih?" delikku jengkel. "Nggak, gue gak cemburu. Gue cuma kesel sama dia. Dia aja diemin gue gara-gara Fajar. Terus sekarang dia malah enak-enakkan ngobrol sama Intan."
"Itu artinya lo cemburu, lo takut dia berpaling," sahut Wulan sama sekali bukan solusi.
"Dibilang nggak ya, nggak!"
"Atau lo udah mulai suka sama dia, Za?" selidik Wulan kepo.
"Gak tahu, rasanya masih abu-abu aja," jawabku jujur. "Jujur, gue udah mulai nyaman sama dia, gue suka cara dia ngutarain perasaannya. Sumpah kadang gue masih suka geli sendiri kalau inget. Cuma gue masih ragu dia serius sama gue."
"Maksud lo?"
"Dia bilang, dia tertarik sama gue dari tiga tahun yang lalu. Tapi, kenapa dia baru bilang sekarang? Kenapa nggak dari dulu?"
"Harusnya lo tanya langsung ke dia, Za. Gue mah mana tahu jawabannya apa. Tapi gue yakin sih cowok model dia itu setia. Bukannya lo juga tahu dari adeknya kalau dia pacaran sampai lima tahun? Dan mereka putus juga bukan karena dia yang mutusin, ceweknya aja yang gak tahu diuntung," ucap Wulan menggebu-gebu. Dia paling semangat kalau membicarakan hubunganku dan Arkan.
"Ah, gue bingung," keluhku sambil mengusap wajah.
"Kalau lo masih gak yakin, kenapa dari awal lo kasih dia kesempatan? Dia gak lo jadikan pelampiasan buat ngelepasin perasaan lo dari Fajar kan?"
"Nggak, sumpah. Eh, iya deh seperempatnya,"
"Nah, lo salah di situ. Itu yang bikin lo susah buat percaya sama dia. Kalau seseorang emang beneran sayang sama kita, dia akan tetap tinggal meskipun beberapa kali kita menolaknya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dosen Idola (Sudah Terbit)
Chick-Lit[TERSEDIA DI SHOPEE] Punya dosen ganteng tapi kejam, otoriter, pelit nilai, tengil... Basmi aja! Kalau dipelihara tidak akan baik untuk kesehatan otak. Itu yang selalu Khanza deklarasikan. Mahasiswi semester 5 yang SANGAT TIDAK terobsesi pada dosen...