26. Ibu-Ibu Jaman Now

194K 19.6K 539
                                    

Sikap childish ternyata hanya bisa memperkeruh suasana. Sadar, kalau sikapku terlalu berlebihan. Zaman sekolah masih suka terbawa walaupun aku sudah berusia dua puluh tahun. Cukup sulit untuk beradaptasi dari remaja ke dewasa.

Sebenarnya aku malu dengan apa yang kulakukan pada Arkan seminggu yang lalu. Semua ucapanku terkesan murahan, aku bertanya dia serius tidak sementara hatiku masih abu-abu. Egois memang. Melihat bagaimana cara Arkan bersikap semakin membuatku ciut untuk meminta maaf. Ya, sudah seminggu berlalu, aku sama sekali belum meminta maaf. Sedangkan, hampir tiap hari kita berkomunikasi lewat alat komunikasi tanpa bertatap muka.

Katakanlah aku menghindarinya, aku selalu menolak jika Arkan mengajakku jalan. Aku tetap kukuh dengan alasanku yang ingin fokus UAS dulu. Dan dia cukup memberiku ruang untuk itu. Aku menghindarinya bukan karena masih kesal, tetapi aku malu.

Ujian Akhir Semester berakhir satu hari yang lalu. Hasilnya bisa dilihat lewat online satu minggu kemudian, tanpa harus repot-repot pergi ke kampus lagi. Bagi anak kos sepertiku libur panjang itu wajib hukumnya buat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Yeah, akhirnya setelah dua bulan lebih tidak pulang, hari ini aku bisa menikmati masakan terenak di dunia. Masakan Bundaku tercinta.

Sepertinya acara pulang kampungku akan disuguhi drama lagi. Karena ternyata, tanpa seizinku Arkan lebih dulu menghubungi Ayah. Tahu apa yang terjadi? Ayah tidak jadi menjemputku dan menyarankan agar aku ikut dengan Arkan yang kebetulan akan pulang juga pagi hari ini.

Arkan pintar memanipulasi dan memanfaatkan kesempatan di saat aku justru menghindar. Kalau sudah begini aku bisa apa? Ayah udah terlalu percaya pada Arkan. Jika aku menolak pulang bareng, bagaimana caranya aku pulang? Sedangkan aku masih belum berani menaiki kendaraan umum.

Seperti biasa, Arkan menunggu di persimpangan jalan. Sikapku cukup tak acuh saat naik ke mobilnya. Sementara aku yakini dia masih memandang ke arahku. Lalu deheman cukup keras terdengar.

"Udah gak ada yang ketinggalan?"

"Gak ada," jawabku sambil memasang seat belt.

"Cuma bawa tas kecil?"

"Iya."

Aku kira pertanyaan basa-basinya hanya sampai di situ. Ternyata masih berlanjut.

"Kamu udah sarapan?"

"Udah."

"Bawa snack atau minuman nggak?"

"Bapak kok nanya terus dari tadi? Kapan kita jalannya? Nanti keburu macet, Pak," geramku mendelik. "Iya, saya bawa ciki sama minuman rasa kok," imbuhku.

Tidak ada lagi jawaban dari Arkan, hanya terdengar suara mesin mobil yang dia nyalakan berlanjut dengan gas yang dia injak hingga mobil miliknya ini meluncur mengikuti ritme jalanan. Berikan aku sedikit pencerahan untuk minta maaf padanya, Tuhan. Agar kecanggungan seperti ini segera hilang. Huh, aku lelah dengan segala pikiranku yang menyangkut laki-laki ini.

Memasang headset setidaknya lebih baik dari pada terus terkurung dalam keheningan. Memilih posisi nyaman untuk menyandarkan kepala.

"Tidur aja kalo masih ngantuk," tegurnya.

Meliriknya sejenak sambil menggeleng. "Takut Bapak macam-macam," jawabku.

"Macam-macam bagaimana? Rasa-rasanya kamu selalu suudzon sama saya."

Bukan suudzon, sekadar berhati-hati. Kami belum lama saling mengenal dan baru beberapa bulan ini kami dekat. Jadi, aku belum tahu seluk beluk sifat Arkan sampai ke akar-akarnya.

"Terserah deh," cetusku mengerdikkan bahu. Sedang dalam mode malas untuk mendebatnya. Karena ujung-ujungnya aku yang kalah.

"Jangan panggil saya 'Bapak' kalau sedang di luar, bisa?"

Dosen Idola (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang