11. Lebih Sakit dari Tertusuk Duri

231K 23.2K 1.7K
                                    

Catatan : Karena cerita ini sedang dalam masa revisi (proses penerbitan) makanya aku republish. Ingat, ini bukan cerita baru. Hanya saja aku update kembali biar kalian nggak lupa dengan alurnya.

*****

"Gue nggak bisa, Jar. Please, pahami posisi gue."

Langkahku terhenti tepat di depan ruang UKM seni saat mendengar rintihan dari Wulan.

Disusul suara Fajar yang mengudara. "Apa yang bikin lo berat, Lan? Lo masih belum bisa lupain Lian? Atau lo takut gue bohong tentang perasaan gue? Gue serius, gue akan selalu ada buat lo. Gak kayak Lian yang lebih--,"

Napasku tercekat, langkahku seolah berat untuk diajak berlari kencang. Dengan terseok aku mendekati pintu ruangan itu. Menguping dari celah pintu yang sedikit terbuka.

"Stop, Fajar. Jangan pernah lo sebut-sebut Lian. Karena lo dan Lian itu berbeda," sahut Wulan dengan nada meninggi.

"Terus kenapa? Kenapa lo tolak gue di saat gue yakin ada kesempatan buat gue maju jadi pacar lo." Fajar membalasnya dengan nada tinggi juga.

"Jar...,"

"Denger, Lan. Gue jatuh cinta sama lo dari hari pertama Ospek. Yang lo dihukum karena kesiangan datang. Gue coba kenal sama lo, deket sama lo. Tapi, ternyata lo udah punya cowok. Dari situ gue pasrah, dan bersyukur walau cuma bisa jadi teman lo."

Aku menutup mata, merasakan gejolak luka seolah hatiku dihujam dengan benda tajam seiring dengan kejujuran yang sedang Fajar terangkan pada Wulan. Sekarang aku paham, kenapa sampai saat ini Fajar belum juga memberitahu siapa sebenarnya cewek yang sedang dia dekati. Ternyata, dia adalah Wulan. Riski Dwi Wulandari, sahabatku sendiri. Dan bukan mahasiswa Akuntansi semester lima, tapi Manajemen semester 5.

"Udah?" Aku mendengar Wulan merendahkan suaranya. "Sekarang giliran gue yang ngomong. Fajar Chanda Albiansyah, gue tanya satu hal sama lo. Apa lo sadar kalau selama ini ada cewek yang suka sama lo?"

Sekian detik berlalu tanpa jawaban apapun dari Fajar. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, aku melihat Fajar dan Wulan sedang beradu tatap di tengah keheningan.

"Nggak. Siapa? Siapa cewek yang lo maksud?"

"Khanza."

Namaku terucap lirih dari bibir Wulan, dapat kudengar getaran dari suara sahabatku itu. Mungkin dia juga terkejut dengan pengakuan Fajar.

"Khanza? M-maksud Lo Khanza--,"

"Khanza teman kita, Fajar. Atau lo punya teman lain yang namanya Khanza?"

Fajar tertawa remeh, menolak jawaban Wulan. "Lo gak usah jadikan Khanza tameng buat nolak cinta gue, Lan. Sumpah itu rasanya sakit banget. Kayak lo lagi sariawan terus gak sengaja kegigit. Perih, Lan."

"Gue gak lagi bercanda, Fajar." Wulan menyentak Fajar. Dadanya naik turun tanda dia sedang dalam mode emosi tinggi. "Lo ingat dua minggu yang lalu, pas lo ngajak Khanza beli boneka abis itu ke rumah gue?"

"Ya, gue ingat." Suara Fajar kali ini lebih tenang.

"Gue tahu hari itu bahwa Khanza suka atau bahkan jatuh cinta sama lo."

"Jadi, Khanza suka sama gue?"

"Sayangnya lo gak peka."

"Tapi, gue cintanya sama lo. Perasaan gue sama Khanza murni teman, Lan. Beda sama perasaan gue ke lo."

Terlalu pelik untuk sekadar dicerna oleh akal pikiran. Persahabatan yang aku pikir akan berjalan mulus tanpa adanya intrik soal cinta dan mencintai. Nyatanya, sirna hari ini. Tepat setelah aku mendengar ungkapan cinta Fajar untuk Wulan. Drama apa yang sebenarnya terjadi? Aku mencintai Fajar, sedangkan Fajar mencintai Wulan.

Dosen Idola (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang