15. Membentangkan Jarak

218K 22.4K 587
                                    

Sesi curhat dimulai setelah perut kenyang karena diisi oleh pisang nugget dan es krim cincau. Di atas kasur single kamar kosku. Wulan berbaring terlentang sedangkan aku menyamping di sebelahnya.

"Lan, gue mau cerita," kataku membuka percakapan.

"Tinggal cerita kali, lo kayak gak pernah cerita aja."

Menghirup oksigen sebanyak-banyaknya untuk menghindari risiko sesak napas saat nanti Wulan mengungkapkan faktanya. Seorang Khanza tidak mungkin cengeng hanya karena patah hati.

"Lan?"

"Hmm."

"Ulan?"

"Apasih, Za?" sewotnya memutar bola mata.

"Gue ... gue kemarin dengar obrolan lo sama Fajar. Pas Fajar nembak lo, dan--,"

"Za?"

Wulan menoleh kaget padaku. Mencoba seulas senyum di saat hati meronta dan memintaku mengangkuhkan diri di balik rasa kecewa.

"Gak papa kok, Lan," lirihku.

"Za, sorry," bisiknya sedih. "Sumpah, gue gak tahu kalau akhirnya bakal gini. Gue sama Fajar gak jadian kok."

"Ssttt..." Aku mendekat, melingkarkan satu lenganku di pinggangnya. "Lo gak salah, Lan. Gue pernah bilang, kalau kita gak bisa minta hati kita buat jatuh cinta ke siapa. Termasuk hati Fajar. Kenyataan bahwa dia lebih dulu mencintai lo, mau gak mau harus gue terima."

"Za, gue gak sama Fajar, kok. Gue gak cinta sama dia, gue juga gak bisa nyakitin lo," isak Wulan.

"Lan, kadang dalam cinta itu harus egois demi menemukan pilihan yang terbaik. Lo gak perlu mikirin perasaan orang lain, lo cukup mikirin perasaan lo sendiri."

"Lo bisa ngomong gitu, tapi perasaan lo sendiri nggak lo pikirin."

"Lan, maksud gue gak gitu. Kalau memang ada jalannya buat kalian bersatu, kenapa nggak? Awalnya mungkin berat bagi gue. Tapi gue yakin, gue bakal bisa hapus perasaan gue buat Fajar." Meski prosesnya mungkin lama.

"Gue gak bisa, Za. Gue gak mau Fajar jadi pelarian gue di saat hati gue masih sepenuhnya buat Lian," geleng Wulan cepat.

"Fajar bisa menunggu sampai lo benar-benar membuka hati buat dia."

"Nggak, Za. Gue takut Fajar capek nunggu gue buat balas perasaan dia."

"Pelan-pelan, Lan. Melepaskan masa lalu itu gak harus sekali jadi. Butuh proses. Lo cukup nikmati prosesnya ke depan, tanpa harus lo lihat lagi apakah masih ada yang tertinggal di belakang atau nggak."

"Za, I love you ... lo emang terbaik."

Aku tertawa penuh rasa haru. Ternyata aku bisa juga berkata bijak. Sebenarnya aku ini anak siapa? Anak Ayah atau anak Mario Teguh yang dititipkan sama Ayah?

Selamanya kamu akan jadi mutiaranya Ayah, Khanza. Lebih dari bahagia dan bersyukur punya sosok Ayah yang spesial sepertinya.

"Gue ngantuk. Tidur bentar di sini ya," bisik Wulan.

"Kayak gak pernah aja lo. Mau tidur mah tidur aja, sekalian nginap di sini juga sangat boleh Teteh Ulan."

"Kalo nginap gak mau. Tidur lo kaya kicir angin, muter-muter. Badan gue bisa pegal semua," keluhnya sambil menarik guling untuk dipeluk.

Aku tertawa geli sebagai tanggapan. Karena memang kebiasaan tidurku seperti itu. Melirik Wulan yang mulai terlelap, untuk mengurangi kebosanan karena tidak punya teman ngobrol aku menyalakan laptop untuk menonton drama Korea.

Dosen Idola (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang