Song; Davichi - Cry Again
Malam itu, sepasang mata memaksakan kehendaknya untuk tetap terbuka. Menatap takdir kejam sekaligus tak adil, menurutnya. Tangan besar itu mengusap pelan malaikat tanpa sayap yang sedang berbaring, memejamkan matanya. Menggunakan pakaian rumah sakit, wajah pucat dan jarum infus yang menancap di tangan kirinya.
Sekali lagi dalam hidupnya, rembulan, semesta dan bahkan bintang tak searah dengan pemikirannya. Lihatlah, bahkan bintang meredup di atas sana. Rembulan tak bersinar. Apa semesta membenciku? Soonyoung membatin.
Tangan kanannya dipakai untuk membelai wajah pucat suaminya dan sebelah tangannya mengusap lembut tangan kanan Jihoon.
Segala macam spekulasi mulai memenuhi pikirannya. Jihoon akan begini, Jihoon akan begitu dan masih banyak lagi. Kehilangan bukanlah suatu masalah yang mudah. Merelakan juga tak mudah.
"Tersenyumlah. Jika kau terpuruk begitu, Jihoon akan lebih terpuruk dan semakin sedih." Kira-kira seperti itu yang Wonwoo ucapkan sebelum Soonyoung masuk ke dalam ruang rawat Jihoon.
Sepasang mata indah itu bergerak-gerak dibalik kelopak matanya yang seputih porselen. Jihoon membuka matanya perlahan. Ada sebuah denyutan yang membuat kepala Jihoon sakit. Ia mengerjapkan matanya dan menatap ke arah Soonyoung. Pandangannya sayu.
"Aku dimana?" Suara serak Jihoon terbawa angin hingga mampu untuk masuk ke dalam pendengaran Soonyoung.
Usapan sayang Jihoon dapatkan. "Kita di rumah sakit."
Jihoon mendengus pelan. Ia menutup matanya. Tangan kanannya tak sengaja berlabuh di atas perutnya yang kini rata.
Segalanya semua semu. Seperti tidak benar-benar terjadi. Seperti tidak benar-benar membuka mata melihat dunia. Seperti tidak benar-benar bernapas. Semua terasa semu, terasa tak nyata untuk diungkapkan dan dirasakan.
Keabu-abuan, remang-remang, terasa hambar. Diambang ketidakpercayaan atas takdir yang telah tertulis. Seperti berjalan di jalanan yang dihimpit oleh kenormalan dan ketidaknormalan. Maju tidak mampu, mundur apalagi. Inikah yang disebut titik keanomalian? Hidup diambang ketidakmampuan. Tersenyum pun rasanya sulit, bersedih tidak ada gunanya. Setengah untuk berharap. Setengah untuk tersenyum. Sisanya... Kerapuhan.
Bibir semerah mawar itu terbuka, namun perkataannya tersendat oleh pemikiran yang berputar-putar di kepalanya. Antara percaya dan tidak.
Jihoon meremas kuat tangan Soonyoung yang berada di atas tangannya. Setetes air mata mulai turun tanpa permisi. Begitu terus beriringan saat Jihoon berkedip.
"Anakku..." lirihnya.
Sungguh, Soonyoung tak dapat lagi berkata-kata saat Jihoon mengucapkan kata tersebut. Ia sibuk dengan perasaannya yang semakin tak menentu arah. Ia marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa menjaga Jihoon. Ia kesal karena tidak bisa menebak siapa pengirim surat itu dari awal. Ia pun sedih karena kehilangan satu sumber kebahagiaannya.
"Soonyoung, anakku..." lirihnya lagi.
Kakinya yang tertutup selimut bergerak. Menendang udara, menendang selimut yang menghalangi pergerakan kakinya. Tangisannya bahkan sekarang dapat membuat siapapun ikut tersayat hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
One More Time | SoonHoon
Fanfiction✨ Sequel of Love Blossom Berawal dari kesalahan aku belajar. Mencintainya adalah hal unik yang pernah aku rasakan. Aku suka rasa ini. -Soonyoung. Berlagak seperti tidak memiliki rasa itu rumit. Aku mencintainya, tapi ia mengkhianatiku. -Jihoon. D...