Part 8

3.6K 367 1
                                    

Sagara POV

Sudah satu minggu gue di Jogja, dan satu-satunya manusia yang bisa gue kontak dengan gampang cuma si Hadi, yang di kantor barunya sekarang entah bagaimana bisa berubah nama menjadi Angga.

Ah, tapi itu bukan hal penting.

Ada satu hal yang lebih penting yang sebenarnya lebih sangat mengganggu pikiran gue, bahkan dari sebelum gue menginjakkan kaki di kota Gudeg ini.

Renjana Prastika Prasetyo.

Gue bahkan masih mengingat nama lengkapnya.
Selengkap gue mengingat bagaimana wajah lucu kesukaan gue itu.
Ralat, kesukaan gue dulu.

Selengkap gue mengingat tatapan paling tidak bersahabat yang pernah gue temui sepanjang dua tahun gue jadi mahasiswa yang tergolong cakep di kampus dulu.

Rere, panggilan akrabnya, bahkan sama sekali tidak menerima uluran tangan gue kali pertama gue berusaha mengajak dia berkenalan.

Dan karena terlanjur gengsi ditolak kenalan, tanpa pikir panjang gue tarik tangannya, yang tentu saja langsung dikibaskannya dengan kasar.

Tapi jangan panggil Gue Sagara kalau gue tidak bisa mengajak perempuan berkenalan.
Atau setidaknya tersenyum, di kali pertama gue menyebut nama.

Tapi lain dengan Renjana.
Jangankan senyum manis, bahkan satu hal pertama yang gue dapat dari dia cuma satu kalimat ketus.

"Gak usah sok akrab, deh.."

Buseeeeeeet.

Seorang Sagara Wahyu Putra dianggap sok akrab.
Gue yakin, ayah atau ibu bakalan langsung menyeret gue pulang ke Jakarta kalau melihat anak laki-lakinya ini dilepeh begitu saja oleh perempuan yang sebenarnya kalau dibilang cantik, juga tidak terlalu.
Tetapi kalau disebut biasa saja, rasanya juga Renjana ini jauh dari kata biasa.

Wajahnya lebih pas kalau disebut manis dan menarik daripada cantik.
Jenis wajah yang bisa mendadak membuat ulu hati ngilu, belum lagi kalau ia tersenyum lebar.
Matanya yang menyipit dan sebuah lesung pipi kecil tepat di sebelah dagu kanannya mendadak membuat gue lupa pada Tiara yang sebelumnya gue kejar.

Renjana sama sekali tidak memiliki raut wajah yang terkesan akrab atau hangat, yang bahkan menurut gue lebih pas kalau disebut wajah tanpa ekspresi.

Gue nggak bohong.
Renjana ini manusia paling minim ekspresi yang pernah gue kenal.
Cewek paling lempeng, yang kalau gue goda cuma pipinya aja yang memerah, sementara senyumnya mirip rumah di daerah baru Araya ; mahal banget.

Gue mendadak tersenyum mengingat-ingat perempuan itu.
Apa kabarnya ya sekarang?

Sementara gue menunggu client mentransfer sejumlah uang ke rekening kantor, yang tak lain dan tak bukan adalah si Angga alias Hadi tadi, gue iseng-iseng membuka sosial media milik Renjana.

Gue tahu, Renjana memblokir seluruh akses gue atas akun-akun sosial medianya.
Dan seolah menganggap remeh seorang Sagara, Renjana lupa kalau gue punya seribu satu macam cara untuk tahu segala hal yang gue ingin tahu, termasuk kabarnya.

Renjana yang sekarang jauh berbeda dengan Renjana yang gue kenal tiga tahun lalu.
Jauh lebih berbeda dari Renjana lima tahun lalu, yang gue kenal semasa kuliah.

Gue melihat satu foto close up-nya, yang sepertinya diambil di depan Candi Prambanan.
Foto yang memperlihatkan betapa Renjana sudah sangat jauh lebih berbahagia.
Entah pikiran macam apa itu yang gue punya, yang bahkan langsung bisa mengira ia bahagia hanya karena sebuah fotonya lengkap dengan senyum lebar dan mata menyipit sempurna.

Ah ngilu lagi ulu hati gue rasanya.

Efek yang ditimbulkan oleh Renjana ini memang selalu berbeda dari efek yang ditimbulkan perempuan-perempuan lain yang gue kenal.

Bahkan Adelia, perempuan terakhir yang gue pacari dengan serius, belum pernah membuat hati gue se-ngilu ini.

"Aku tahu kamu di Jogja untuk sembunyi, Re.."

Ujarku setengah berbisik pada foto Renjana. Kali ini dengan kebaya biru muda yang perlahan membuat gue tertawa miris.

Segara Renjana (hapus sebagian karena proses penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang