Part 18

3.2K 294 3
                                    

Aku tahu, pertanyaan yang kulontarkan pada Sagara barusan terlalu keras.
Bahkan sampai membuat Sagara yang biasanya semaunya sendiri pun, bisa bungkam juga.

"Aku.. cuma penasaran aja, Re.."

Kalimat bernada pelan yang seolah berisi penyesalan dari Sagara tak urung membuat hatiku melunak.

Bodoh.
Bodoh sekali, Re.

Hanya dalam waktu beberapa menit saja hatiku bisa jungkir balik tak karuan lagi begini.

Baru saja seolah ada kupu-kupu beterbangan di perutku saat tertawa menanggapi guyonan Mas Arya.

Lalu sekarang mendadak rasanya hatiku seperti sedang diremas-remas, sesak sekali, begitu melihat Sagara sekali lagi.

Sumpah demi apapun, laki-laki ini masih menjadi satu-satunya untukku.
Yang mungkin, sekalipun aku harus dihadapkan dengan sosok setampan Herjunot Ali didepaku, mungkin aku dengan sadar masih akan tetap memilih Sagara.

Pengakuan paling menyakitkan yang pernah kulakukan sepanjang dua puluh tahunku.

"Re, aku disini bukan untuk nungguin kamu bicara sendiri sama pikiranmu, kan?"

Sekali lagi, Sagara kembali merusak keadaan "baik-baik" saja yang sudah kubangun selama beberapa tahun belakangan ini.

Aku tertawa, pelan.
Sagara sekali lagi menatap langsung ke dalam mataku.

"Susah dapat yang kaya' kamu, Re.. Beneran nggak ada rasanya.."

Mataku menyipit.
Sama sekali tak berusaha mencari kebenaran maupun kebohongan di dalam kalimat yang membuat debar jantungku mendadak tak karuan itu.

"Aku tahu kamu bohong, Ga.."
Rapalku pelan-pelan dalam hati.
Meski secara sukarela aku juga masih menyediakan diri menjadi seseorang yang mau kamu bohongi.

"Kamu sendirian aja, Ga?"

Aku memutuskan untuk belajar bersikap biasa saja pada laki-laki ini,.meski jelas perasaanku rasanya masih jauh lebih berantakan daripada kemacetan Jogja yang tadi kulewati saat pulang kantor.

"Ya kamu lihat sendiri, kan, Re. Aku cuma ngurusin kerjaan, dan bagusnya justru takdir malah bikin kita ketemu disini sekarang.."

"Nggak usah terlalu dalam membawa-bawa takdir, Ga. Ini namanya kebetulan.."

"Kebetulan dari mana kalau out of nowhere, but Jogja. Dan kita disini sekarang, Re.."

"Ga, ada banyak kemungkinan yang bisa mempertemukan kita dengan orang-orang di masa lalu, termasuk kita. Aku dan kamu, sama kaya' kemarin aku ketemu sama si Hadi.."

"Aku kangen kamu, Re.."

Aku seketika terdiam.

Seolah dibungkam, aku hanya menunduk. Memilih menatapi sepatu flat biru-ku, menghindari mata elang Sagara yang selalu membuatku rela untuk kalah berkali-kali.

"Ga.."

"Aku mau kita kaya' dulu lagi, Re.."

"Ga, tolong.."

"Aku nggak bisa harus terus-menerus jauh dan jaga jarak dari kamu, Re.."

"Sagara, aku mohon.."

Aku hampir sudah menghinakan diriku sendiri untuk meminta kepada Sagara, agar ia tidak perlu repot-repot melanjutkan semua kalimatnya.

Kalimat-kalimat yang aku tahu hanya akan menjadi kelemahanku.
Yang membuat segala usahaku untuk berlari sampai sejauh ini akan kembali menemukan titik nol.

"Aku bahkan berharap kita nggak perlu ketemu lagi, Ga.."

Satu hal yang tidak sempat dikontrol oleh pikiranku, dan yang terlanjur ku ucapkan di depan Sagara.

Segara Renjana (hapus sebagian karena proses penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang