Part 13

3.5K 323 0
                                    

Pandanganku masih lurus ke arah panggung festival yang kali itu terlihat manis dengan hiasan berupa kain-kain lurik.

Belum lagi beberapa penjaga stan pameran yang merupakan mahasiswa-mahasiswa itu terlihat memakai kebaya bagi para mahasiswinya, dan beskap hitam bagi mahasiswanya.

Dan sebagai perempuan Jawa asli sepertiku, tentu pemandangan laki-laki manis berbeskap itu, tentu jauh lebih membuat hatiku menghangat.

"Re, sering-sering ajakin ke acara beginian, ya. Kangmas-kangmas pake blangkon itu rasanya pengen kukenalin ke mamaku semua, deh.."

Aku terbahak.

Reina kumat lagi centilnya.

Dulu, melihat Ko Hendra yang terlihat dandy dengan setelannya dia langsung ingin membawa pulang ke Palembang.
Sekarang melihat mas-mas, atau lebih tepatnya adek-adek berbeskap, mau dikenalin ke mamanya.

"Makanya, cari orang sini aja.. Nanti kalo nikah bisa kamu dandanin begitu.."

Tunjukku kepada salah satu mahasiswa berperawakan tinggi besar. Wajahnya yang manis lengkap dengam kacamata serta tubuhnya yang tegap dibalut beskap hitam, jarik cokelat motif Sidomukti, dan blangkon membuat perhatianku ikut teralihkan dari panggung yang ramai oleh panitia yang sedang check sound.

"Ya Rabbi.. Itu yakin manusia, Re? Kok aku bawaannya jadi pengen pake kebaya disebelahnya, trus ngadep penghulu sambil di akad, ya?"

"Mulut ya.. Inget, si Koko jauh-jauh ke Surabaya itu buat nge-akad yang disini ini. Bukan liatin paha cece-cece TP.."

Kataku sambil menunjuk ke arah tempat duduk Reina, membuat gadis itu mencibir.

"Eh Re, itu orang kayanya daritadi nunjuk-nunjuk kamu, deh.."

Mataku segera mengikuti arah yang ditunjuk oleh Reina di samping panggung.

Seketika senyumku melebar.
Ada debar hangat yang masih kurasakan setiap kali melihat senyum singkat dari sosok Mas Arya.

Hampir setahun setengah aku sama sekali tidak pernah bertemu dengan Mas Arya lagi. Terakhir adalah saat pernikahan Mbak Nadia, salah satu orang kursusan dulu yang juga merupakan teman dekatku dan Mas Arya.

Setahun lebih yang ternyata sudah cukup untuk membuat Mas Arya terlihat berbeda.
Rambutnya masih sedikit gondrong, dan kacamata tipis yang membuat debarku mendadak semakin menjadi.

Aku jadi ingat dulu sempat menyarankan agar dia segera memakai kacamata, mengingat minusnya yang ternyata sudah mendekati angka 1,5.
Tetapi Mas Arya selalu menolak dengan alasan,

"Nanti mataku gak keliatan cokelat lagi, Jeng.."

Alasan yang dulu membuatku tertawa.
Meskipun aku tahu, bahwa mata Mas Arya masih akan, dan tetap menjadi mata cokelat yang membuatku gemar berlama-lama menatap.

Aku segera melambaikan tangan ke arah Mas Arya, berharap laki-laki itu segera selesai dengan urusannya dan menghampiriku.

"Pantesan betah jomblo kamu, Re. Yang ditungguin macam Chicco Jerikho begitu ternyata.."

"Apaan sih, dia itu udah kaya' mas-ku sendiri.."

"Halah masku. Mas apaan yang senyam-senyum canggung macam orang mau dijodohin gitu, ha?"

Aku segera membungkam mulut Reina yang kalau dibiarkan akan terus nyerocos berkomentar itu, saat melihat Mas Arya mulai melangkah ke arah meja kami berdua.

"Jeng, berapa lama sih kita nggak ketemu?"

Mas Arya menyalami aku dan Reina bergantian dan mengambil duduknya tepat didepanku.
Kebetulan ada tiga kursi yang tersedia di meja yang kupilih.

"Terakhir di wedding Mbak Nadia setahun lalu kaya'nya.. Kenapa, Mas?"

"Nggak papa, kelihatan beda aja. Makin dewasa.."

Pipiku menghangat mendengar ucapan pelan Mas Arya.
Berbeda dari orang lain yang terkadang lebih gemar menggunakan kata 'cakep' atau 'cantik' untuk memuji seorang perempuan.

Tapi sejauh perkenalanku dengan laki-laki ini, Mas Arya hampir tidak pernah menggunakan kata-kata tersebut untuk memuji.

Dan contoh kata ganti yang digunakannya kali ini adalah 'dewasa'.

"Oh iya Mas, ini Reina, temen kantorku.."

Aku buru-buru mengenalkan Reina yang sedari tadi sepertinya sudah kebelet menggodaku dengan berkali-kali berdeham dengan wajahnya yang dibuat sok tidak berdosa itu.

"Mbak Reina tahan, nggak sama manjanya Rere kalo di kantor?"

"Apaan, sih.. Siapa juga yang sempat manja-manja di kantor?"

Aku buru-buru mengoreksi kalimat Mas Arya yang langsung menciptakan kerut di kening Reina, seolah bertanya pada dirinya sendiri, "sejak kapan seorang Rere yang super mandiri ini bisa manja-manjaan?"

"Jeng, ngobrolnya agak nanti gak papa, kan? Aku harus balik ke backstage dulu.."

"Iya, Mas, nggak papa.. Santai aja lagi.."

Mas Arya yang mohon diri segera menciptakan kesempatan Reina untuk kepo kepadaku.

"Eh, ada hubungan apa sih kalian berdua sampe kamu bisa manja-manjaan gitu? Trus, sejak kapan kalian tergabung di grup arisan sampe si Mas Arya tadi manggil kamu jang jeng jang jeng gitu?"

Aku tertawa keras sambil pelan-pelan menjelaskan beberapa informasi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Reina tadi.

Segara Renjana (hapus sebagian karena proses penerbitan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang