Pulang kerja Ily dikejutkan saat melihat Vania berdiri di teras panti dengan wajah gelisah. Ia berjalan cepat menghampir. Harusnya gadis itu masih dirawat di rumah sakit, kenapa sudah di Panti? Sudah pasti ini kekeras kepalaan Vania. Ia yakin sekali gadis itu pasti ngotot untuk pulang.
"Van, kenapa ada di sini?"
"Nunggu kamu, kamu pikir aku nunggu pangeran berkuda buat jemput aku?!" sewotnya.
Ily menghembuskan nafas kasar. "Harusnya kamu di rumah sakit bukan di sini," gusarnya.
Vania berjalan meninggalkan Ily masuk ke kamar mereka. Ily mengekor ke mana sahabatnya itu pergi.
"Kamu mau aku terus jadi penghuni rumah sakit, gitu?" sebel Vania membalikkan tubuhnya pada Ily.
"Bukan gitu," sanggah Ily, "Aku cuma mau kamu cepat sembuh," lanjutnya berharap Vania mengerti.
"Udahl, Ly! Nggak usah kayak gini, aku juga nggak akan sembuh, aku tetap di sini dan uangnya juga bisa digunain buat keperluan kita dari pada buat biaya pengobatanku yang jelas-jelas nggak ada hasil."
Ily menatap Vania tidak percaya. Seakan menggambarkan bahwa Vania telah putus asa dengan penyakitnya.
"Kamu ngomong apa, sih? Kamu bakal sembuh, percaya sama aku!" tegas Ily merasa perjuangannya selama ini tidak berarti. Ia susah payah cari uang untuk membantu pengobatan tetapi yang dibantu malah pasrah.
"Aku percaya kamu, tapi penyakitku----aku rasa nggak ada harapan lagi, Ly," lirih Vania menahan tangis.
"Selama kita hidup, selama itu juga kita punya harapan. Asal kita nggak nyerah." Ily memeluk Vania seraya mengelus punggung rapuh sahabatnya.
Vania menangis begitu pun Ily. Keduanya berurai air mata sambil berpelukan. Ily tahu apa yang dirasakan Vania meski ia sendiri tidak mengalaminya.
Gagal ginjal membuat Vania terpuruk, tidak bisa melakukan apa-apa membuatnya merasa tidak berguna. Vania kadang berpikir sebagai beban Bu Rani, Ily dan penghuni panti lainnya. Setahun terakhir Vania bolak-balik rumah sakit untuk cuci darah atau dirawat. Setiap saat penyakitnya semakin parah dan itu membuatnya makin sedih.
"Sampai kapan aku berharap? Ini udah lama, Ly. Rasanya sakit banget."
"Kita cari pendonor. Aku yakin kita bakal dapat, bentar lagi. Tunggu sebentar."
Ily menghapus air mata Vania berharap dia tidak patah semangat.
"Tapi Ly--"
"Bukannya kita udah janji bakal bersama? Yah, bentar lagi kita dewasa, kita bakal pergi dari sini. Itu mau kamu, kan?"
Mereka pernah berjanji ketika usia mereka 10 tahun. Vania meminta Ily berjanji jika besar nanti mereka akan meninggalkan panti asuhan Bunda Kasih untuk mengejar cita-cita masing-masing. Kemudian mereka akan keliling dunia setelah sukses.
"Emang aku bisa?" Vania menatap Ily seakan ragu. Ily tersenyum hangat setetes air matanya jatuh.
"Ya."
Ily kembali memeluk Vania. Sejujurnya ia juga takut, takut jika apa yang dikatakannya tidak tercapai. Mendapatkan donor ginjal? Ily sangat berharap untuk mendapatkan itu. Bagaimana pun Vania harus sembuh. Ily tidak ingin kehilangan kembali orang yang disayanginya.
"Aku udah kehilangan, Bunda. Aku nggak mau kehilangan sahabat lagi," batin Ily.
Sempat Ily ingin mendonorkan ginjalnya tapi sayang ginjalnya tidak cocok dan saat itu Ily merasa tidak berguna untuk sahabatnya.
*****
"Pulang jam berapa?" tanya Vania duduk di samping Ily yang tengah mengikat tali sepatu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Incredible Brothers (TERBIT)
Novela Juvenil(FOLLOW SEBELUM MEMBACA) Hidup sebagai gadis panti asuhan selama bertahun-tahun telah Ily rasakan semenjak ibunya meninggal dunia. Sulit memang, tapi itulah kondisi yang harus Ily terima. Hingga suatu saat ada yang datang mengakui dirinya bahwa dia...