8

47 3 0
                                    

Meta terbangun dari tidurnya, dia merasa haus. Namun sepertinya dia lupa membawa air minum ke kamarnya, mau tidak mau dia harus turun ke bawah untuk mengambilnya. Ketika menuruni tangga dia mendengar sayup-sayup suara dari ruang televisi. Merasa penasaran, perlahan Meta mengarahkan langkah kakinya ke sana. Ada Bertha dan kedua putranya, saat ingin menyapa mereka.

"nggak masalah buat Galang, kalau galang harus menikahi meta ma" Langkah Meta seketika berhenti mendengar kata-kata tersebut.

"Gilang juga"

"Mama tahu kalian menyayanginya, namun mama rasa itu bukan solusi yang tepat. Lagipula apa Meta akan menerimanya?"

"Kita bisa memberi pengertian ke dia ma"

"Meta nggak mau" meta terhenyak mendengar kata-kata yang dia keluarkan, ketiga orang yang tengah berbincang serius itu segera menoleh ke arahnya. Menyadari bahwa subyek yang sedang mereka bicarakan berada tak jauh dari mereka.

"Meta.."

"Kalau mama, kak gilang dan kak Galang merasa malu, Meta akan pergi"

"Bukan begitu" meta kaget, karena ketiga orang didepannya mengucapkan kata tersebut bersamaan. Namun air matanya telah terlanjur menggenang di pelupuk matanya. Dan perlahan turun membasahi kedua pipinya, dia segera menundukkan kepala. Perlahan membalikkan badannya ingin berlalu dari tempat tersebut.

"Dengerin kakak dulu" tubuh Meta tertahan dan pelan namun pasti, Gilang membawa Meta duduk di sofa ruang keluarga.

"Kami nggak merasa malu sama kondisi kamu dhek, namun kami merasa jika anak dalam kandungan kamu butuh sosok ayah"

"Kalian bisa menjadi sosok itu, tanpa harus menikahiku" air mata terus saja mengalir dari kedua mata gadis itu.

"Kami tahu, tapi nggak sesederhana itu dhek. anak kamu akan di katakan anak ha...?"

"Gilang.." teguran terdengar dari kedua orang yang sejak tadi menjadi pendengar dan menunggu giliran untuk memberikan penjelasan. Meta tahu, tanpa harus gilang menyelesaikan kata-katanya, dia tahu apa yang Gilang maksudkan. Namun dia tidak ingin bersikap egois, mengorbankan kebahagiaan orang lain hanya demi menjaga nama baiknya. Tidak, dia tidak setega itu. Segala resiko akan dia tanggung sendiri, dan dia tidak perduli lagi dengan apa kata orang. Benar, lebih baik seperti itu, dia harus kuat demi dirinya sendiri dan anak yang ada dalam kandungannya tentu saja.

"Maksud kak Gilang nggak seperti itu nak. Jangan di ambil hati ucapannya, sebaiknya kamu istirahat. Kami tidak akan memaksakan kehendak kami kepadamu. Apapun keputusan yang kamu ambil, kami akan mendukungnya" bertha memeluk Meta yang masih saja terisak.

***

Tidak ada lagi pembicaraan mengenai pernikahan setelah kejadian beberapa malam lalu, Galang telah disibukkan dengan pekerjaannya kembali. Sedangkan Gilang, belum ada tanda-tanda jika dia akan kembali disibukkan dengan kuliahnya.

"kak Gilang, kapan kuliahnya selesai?" kami tengah bersantai di teras belakang sembari menikmati semilir angin sore.

"kenapa?"

"nanya aja"

"Kamu nggak bosan di rumah terus?"

"bosan" Meta menundukkan wajahnya lesu.

"Mau ke toko buku?" Gilang tahu apa yang bisa membuat gadis disebelahnya menjadi kembali ceria. Dan benar saja, kedua mata itu menatapnya berbinar dan menganggukkan kepala dengan antusias yang terpancar nyata.

"Ya udah, ganti baju sana, kakak tunggu di sini" segera meta bergegas memasuki rumah, dia merasa tidak sabar untuk membeli beberapa buku. Selama tinggal di sini dia hanya membaca sebuah novel yang dibacanya hingga bosan. Untuk sekedar keluar dia tidak berani, dia belum begitu tahu kota ini. Dan bila harus meminta mamanya menemani, dia masih sungkan melihat kesibukan mamanya tersebut.

Cuaca yang cerah, suasana hati yang baik membuat wajah Meta yang biasanya terlihat tidak bersemangat menjadi lebih terlihat hidup. Gilang menatap gadis itu dengan perasaaan lega. Setidaknya akan ada sesuatu yang bisa mengalihkan gadis itu dari kesedihan yang di deranya.

"Kak, biasanya aku suka lupa waktu kalau udah masuk toko buku, kalau kakak bosan, kakak bisa pulang, nanti aku bisa naik taksi." Kata Meta saat mereka baru saja tiba di toko buku.

"gak apa-apa, kakak temenin." Gilang mengusap kepala Meta

"beneran nggak apa-apa?" tanya Meta meyakinkan, sembari merapikan kembali rambutnya.

"Iya, bawel. Nanti kalau kakak bosen di depan situ kan ada tempat ngopi, nanti kakak tunggu di sana. Udah buruan masuk, ambil waktu sesuka kamu, nggak usah mikirin kakak." Gilang mendorong Meta memasuki toko buku. Dalam sekejab Meta sudah sibuk melihat dan memilah buku yang ingin dia bawa pulang.

Setelah cukup lama Meta akhirnya membawa 10 buku ke meja kasir, dia tidak tahu kapan lagi dia bisa keluar seperti ini. Sehingga ada baiknya dia sekalian membeli banyak buku untuk dibacanya di rumah dengan harapan bisa mengusir rasa bosannya saat di rumah. Segera dia menyusul Gilang yang sejak tadi sudah pamit pergi ke cafe depan. Dia melihat Gilang yang tengah asik dengan handphonenya, saat dia membuka pintu cafe Gilang segera mengalihkan pandangannya ke arah pintu dan saat melihatnya Gilang melemparkan senyum sembari menepuk kursi yang ada di sebelahnya. Belum sempat dia sampai ke tempat duduk, tubuhnya tersentak ke arah belakang karena ada yang menarik tangannya.

"Meta..." suara yang cukup dikenal Meta, dan matanya menatap tak percaya melihat laki-laki yang tengah berdiri di depannya.



tbc

***

Jangan lupa tinggalkan jejak. terima kasih.

Jalan BerlikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang