Daniel betul-betul menepati janjinya, dia datang ke Monochrome di hari Senin pagi yang mendung.
Awalnya Daniel bingung harus berpakaian seperti apa karena Seongwoo tidak menyebut-nyebut soal seragam, jadi muncullah dia dengan penampilan kelewat resmi dan rambut dicat gelap.
Hampir keseluruhan dari yang Daniel kenakan berwarna serba hitam. Mulai dari jas, celana bahan, sepatu pantofel mengilat yang sempat dia semir, hingga dasi panjang. Satu-satunya yang berwarna lain ialah kemeja putih di balik jas.
Naas, yang ada Jisung malah menertawainya habis-habisan.
"Niel-ah, kau di sini untuk menjadi manajer, bukan untuk menikahi putri orang. Jadi sana lepas jasmu dan gunakan celemek yang ada di ruang ganti."
Melaksanakan instruksi Jisung dengan patuh, maka hari pertama Daniel bekerja pun resmi dimulai.
Selain pâtissier dan petugas kebersihan, hanya ada tiga karyawan tetap yang Seongwoo pekerjakan di Monochrome: Yoon Jisung, Kang Daniel, dan barista bernama Ha Sungwoon yang tempo hari dimintai tolong oleh Jisung.
"Sebetulnya ada lagi dua siswa part-timer bagian dapur," tutur Sungwoon sambil menggerus biji kopi. "Tapi karena jadwal mereka hanya di hari-hari tertentu, mungkin kau baru bisa menemui kedua orang itu di lain waktu."
Kalau boleh jujur, Daniel tidak peduli siapa-siapa saja rekan kerjanya. Toh dia menerima profesi ini atas dasar keterpaksaan, jadi buat apa repot-repot menjalin relasi kalau Danielnya sendiri enggan berhubungan dengan orang lain?
Sekarang lebih baik membahas soal pekerjaan.
Kendati menjabat sebagai manajer, minim sekali hal yang bisa Daniel awasi karena baik Jisung maupun Sungwoon sama-sama terlampau andal dalam melakukan kewajiban masing-masing.
Tatkala jam makan siang tiba sekalipun, paling banter Daniel cuma membantu memindahkan gelas plastik atau cangkir berisi minuman buatan Sungwoon ke nampan kosong di sisi mesin kasir Jisung agar lebih mudah diambil oleh si pemesan.
"Hyung, kapan kita bisa beristirahat?"
Pertanyaan dari Daniel kontan mengundang Jisung untuk mendaratkan pukulan ringan di punggung sahabatnya.
"Sedang ramai-ramainya begini kau malah lebih mementingkan perutmu," gerutu sang kasir. "Biasanya aku dan Sungwoon bergantian makan siang karena masih harus menangani job satu sama lain. Silakan saja kalau kau mau duluan, tapi jangan lama-lama."
Mendapat lampu hijau dari Jisung, Daniel bergegas mampir ke minimarket di deretan ruko yang sama dengan Monochrome, hanya terpaut beberapa toko.
Di sana dia membeli menu lunch box sederhana, kopi kalengan, dan sebungkus rokok.
Isi dompetnya masih mendatangkan ratapan penuh ironi, jadi Daniel cukup tahu diri untuk tidak berbelanja macam-macam.
Karena tadi seluruh meja di Monochrome penuh dengan customer dan seingatnya tidak disediakan ruangan khusus untuk staf, jadi Daniel memutuskan untuk makan di minimarket seorang diri.
Kehidupan memang sulit untuk diterka.
Layaknya Jisung, beberapa hari lalu Daniel masih berdiri di belakang mesin kasir, menyapa setiap pelanggan yang mampir kemudian menghitung total belanjaan mereka dengan berlatarkan bunyi pemindai barcode nan monoton.
Dan sekarang lihatlah posisi Daniel, justru dia yang menjadi customer dan menempati salah satu meja di luar minimarket.
Biarpun menu yang tengah disantapnya masih jauh dari kata 'memadai', setidaknya ini lebih baik ketimbang semangkuk mi instan atau kimbap segitiga yang nyaris kadaluarsa.
Ya, dua makanan menyedihkan itulah yang Daniel peroleh secara cuma-cuma sebagai 'akomodasi makan siang' dari tempatnya bekerja dahulu.
Terlalu asyik bernostalgia, tanpa sadar lunch box Daniel tandas dalam waktu sekejap saking laparnya dia.
Sedikit Daniel sesap kopi dingin dalam kaleng sebelum beralih mengerjakan satu dari dua aktivitas yang paling digemari, yakni merokok.
Dengan satu batang terselip apik di antara bibir, Daniel menyulut ujungnya yang tidak berfilter pada korek gas yang dia nyalakan. Diisapnya dalam-dalam benda tersebut sebelum asap mulai berembus keluar dari hidung serta mulut.
Daniel menengadah. Dalam diam, dia mengamati bagaimana asap yang dia hasilkan perlahan menguar lalu berbaur dengan kelabu dari gumpalan awan di atas sana.
Sebentar lagi hujan akan turun, dan bayang-bayang seorang gadis kembali berkelebat dalam benak Daniel.
Buru-buru digelengkannya kepala dengan cepat, seakan ingin mengusir sosok tersebut agar berhenti bersemayam dalam ruang kecil di otaknya.
'Tidak, tidak. Tak semestinya aku memikirkan dia lagi.'
Satu hirupan berikut embusan asap rokok kembali dilancarkan Daniel, tak dipedulikannya tatapan tajam milik seorang pria yang keluar dari minimarket dan lewat di samping mejanya.
Asap boleh saja memenuhi setiap senti rongga paru-paru Daniel. Tetapi mereka lenyap, pergi tanpa permisi meninggalkan tubuh si lelaki.
Mereka tak mampu mengisi kekosongan yang Daniel rasakan sejak dia dicampakkan oleh perempuan itu.
Semestinya Daniel sadar akan hal tersebut. Namun dia biarkan dirinya dikuasai hingga menjadi pecandu, baik terhadap rokok maupun minuman beralkohol.
Persoalan demi persoalan terus menyambangi Daniel, begitu bertubi-tubi sampai-sampai Daniel ragu apakah Jisung juga tahu perihal masalah terbarunya yang melibatkan seorang pemudi.
Batang rokok berpindah dari bibir menjadi terjepit di antara jari tengah serta telunjuk kiri, sementara tangan Daniel yang lain mengacak-acak rambut penuh frustrasi.
Pantas saja dia menjadi 'klien' terbaru Seongwoo.
Seandainya jiwa Daniel goyah, barangkali dia sudah tidak ada lagi di dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Black Feline⚫ongniel
FanfictionTerombang-ambing dalam sisi kehidupan nan kelam, Kang Daniel mengira bahwa hanya alkohol dan rokok yang dapat menghiburnya hingga dia bertemu dengan Ong Seongwoo, laki-laki dengan senyuman penuh misteri yang kerap menjelma menjadi seekor kucing hita...