Kemana perginya senja setelah malam tiba? Apakah lenyap begitu saja? Atau sembunyi dibalik langit pundung temaram? Merenung gundah, mengapa begitu singkat waktunya, padahal ia begitu mencintai bumi. Sementara di bumi itu pun ada satu hal yang berjiwa yang juga begitu menyukainya. Kadang alam sekejam itu untuk menghalangi cinta sejati.
Seorang gadis duduk di atas pagar balkon lantai tiga. Menyesapi bau sore, menatap senja yang kian redup. Helai-helai rambut putihnya berdesir dibuai angin. Binar mata yang kian mengantuk tak menghentikannya untuk terus menatap mentari yang kian tenggelam.
"Ga baik duduk depan pintu maghrib-maghrib, pamali," ujar anak manusia diiringi bunyi cangkir kopi yang ia letakkan di atas meja.
Gadis itu tak menjawab. Pemuda bersurai hitam dan mata coklat itu berjalan mendekat. Mengamati lamat-lamat perwujudan seorang gadis mungil yang dengan tidak wajarnya duduk di atas pagar balkonnya.
"Woi! Jawab dong! Nggak lagi kesambet kan?"
"Apa itu kesambet?" tanyanya membuka suara.
"Kesambet itu..." Pemuda itu tiba-tiba pening. Mencari-cari kalimat paling sederhana yang bisa dipahami.
"Kesurupan? Ergh, nggak penting. Buruan masuk. Udah maghrib."
Namun gadis itu tak kunjung beranjak dari tempatnya. Pemuda itu memutar bola matanya. Ia menjulurkan jemarinya untuk bermain dengan helai-helai rambut putih itu.
"Cantik. Ayo masuk, udah mau gelap," ujarnya dengan nada penuh rayu.
Gadis itu menoleh, seperti biasa tanpa ekspresi. Sementara lelaki di sampingnya tersenyum manis. Manis sekali. Hingga ia berpikir ia mungkin bisa saja tidak makan gula berhari-berhari dan bertahan hanya dengan melihat senyum itu.
Tiba-tiba saja, dering ponsel sang pemuda menginterupsi mereka.
"Lah, Acep ngapain nelpon jam segini, ga biasanya nih, pasti ada maunya," celotehnya. Namun, belum sempat ibu jarinya menyentuh tombol hijau. Tiba-tiba seekor gagak datang entah dari mana, menabrak wajahnya. Ponsel itu terlepas dari genggamannya.
"Oh no fvckin way, my 12.699.999 rupiahs!!!" (Oh tydaq! 12 juta guwe!)
Bersamaan dengan itu, gadis itu melompat dari tempat ia duduk. Diiringi teriakan histeris pemuda itu.
"This is the third floor!" (Ini lantai tiga!) cecarnya lagi. Sementara gadis yang ia teriaki, mendongak ke arahnya dari bawah.
Lantas dengan polosnya lagi, gadis itu melayang, terbang kembali menuju tempat lelaki itu berdiri dengan sebuah ponsel dalam genggamannya.
Pemuda itu lantas panik, menarik gadis itu masuk ke dalam apartementnya.
"What if somebody sees you, gosh, havent i told you many times that you shouldn't do anything with your power outside." (Hashemeleh hashemeleh hashemeleh hashemeleh)
"Ngomong opo toh cah, ra ngerti sampeyan ngomong opo."
Pemuda itu menghela napas berat.
"Pokoknya jangan kaya gitu lagi di depan umum. Bahaya kalo sampai orang lain liat, paham?" Gadis itu tidak mengangguk. Tidak juga memberikan jawaban yang menunjukan persetujuan. Yang artinya ia tak ingin menuruti perintah apa pun.
Gadis itu berlalu begitu saja. Tanpa menginjakan kakinya di atas lantai porselen. Ia membuka pintu kamarnya, masuk, lalu menutupnya kembali tanpa menyentuh pintu itu sama sekali.
Lagi-lagi pemuda itu bernapas berat.
"Susah banget melihara Voldemort."
:::::::::::
Haii, aku Kywan, gimana prolognya? Apakah rancu? Wkwk pasti karena lawakan garing saya. Hehe tolong kacangin saja translate dialog yang nggak jelas ya. Btw, aku minta maaf karena bakal banyak dialog dalam bahasa inggris berkaitan dengan latar belakang si Tokoh Utama laki-laki yang tumbuh dan berkembang di lingkungan yang Inggris bingits.
Semua koreksi, kritik, dan, saran bakal aku terima dengan senang hati, jadi jangan takut untuk berkomentar ya. Kalau kalian senang dengan cerita ini, jangan lupa bantu share ke teman-teman kalian ya.
Terimakasoh sudah membaca ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
White Devil
FantasyNingsih sudah hidup hampir seribu tahun. Masa remajanya di mulai pada masa kerajaan Hindu-Budha. Pernah tujuh belas tahun ia hidup dalam kebohongan yang dilontarkan ibunya sendiri. Perihal yang tampaknya kecil namun semakin membesar seiringan dengan...