Buku-buku tentang ilmu pengetahuan sebenarnya lumayan menarik perhatian Ningsih. Sayangnya jarang menemukan buku seperti itu dalam bahasa Indonesia. Apalagi dulu, di negeri itu tak banyak yang menyenangi kegiatan membaca. Sehingga jumlah buku yang Ningsih temui lumayan sedikit.
Alhasil gadis itu nekat pergi ke perumahan penjajah. Satu per satu ia memasuki rumah yang lebih besar dari milik pribumi itu. Orang-orang kulit putih itu tak akan tahu bila dua atau lebih buku yang pernah mereka baca hilang dari rak buku milik mereka. Bahkan bila mereka sadar, mereka tak akan tahu siapa yang mencurinya. Mau menuduh pribumi yang mereka jadikan babu pun tak mungkin, sebab mana mau ras pemalas itu membaca buku.
Yang ia temui tak selalu soal ilmu pengetahuan. Kadang tentang roman picisan orang kaya dan rakyat jelata. Kadang fantasi tentang cinta beda dunia. Tapi ia menikmati semua yang ia baca. Bahkan puisi paling norak sekali pun.
Gadis itu membalikkan halaman buku untuk ke sekian kalinya. Halaman buku itu sudah mau habis, tapi Angga belum juga kembali dari kepergiannya beberapa jam lalu.
Lelaki itu hanya mengatakan ada sesuatu yang harus dia urus berkaitan dengan data kependudukan Ningsih. Gadis itu mendengus, ia bukan bagian dari masyarakat, mengapa harus mendapatkan tanda identitas seperti itu.
Ningsih berdiri setelah melemparkan buku itu ke sembarang arah. Ia sudah kenyang membaca buku psikologi. Angga bilang ada lebih banyak buku di lantai atas.
Secara teknis, apartement Angga berada di lantai sembilan, tapi ia secara khusus memesan dua lantai untuk apartementnya sendiri, ia pula yang mendesain segala bentuk ruangan yang ada di dalam sana, tentu saja pemilik apartement itu tak keberatan dengan apa yang Angga lakukan, karena apartement itu berdiri di atas tanah milik Angga.
Kaki kecil itu melayang mengikuti anak tangga sampai di lantai atas. Benar saja ada banyak buku di sana. Gadis itu menyusuri setiap rak buku yang diatur berdasarkan topik. Sains, Matematika, komik, Pengembangan diri, Bisnis, sastra, dan banyak lagi. Benar-benar seperti perpustakan pribadi.
Sampai ia pada sebuah rak berpalang Novel. Tadinya ia kira rak itu akan dipenuhi buku-buku roman picisan. Tapi, rupanya tidak. Angga benar ia sudah membaca ratusan novel fantasi. Di hadapan gadis itu semua novel fantasi dari yang paling laris hingga yang paling underrated ada.
Suara langkah kaki menaiki tangga datang. Tapi, Ningsih tak menghiraukannya. Ia sibuk memilih buku mana yang ingin ia baca dengan meniliti sampul mana yang paling menarik.
Angga tiba dengan menenteng sebuah tas penuh dokumen. Ia melemperkan dirinya ke sebuah sofa panjang yang diletakkan di tengah ruangan. Matanya melirik pada Ningsih yang mengabaikan kedatangannya.
"Ning," panggilnya. Gadis itu melirik tak suka. Sedang Angga tertawa ringan, dagunya menunjuk sofa di seberangnya sebagai isyarat bahwa Ningsih harus duduk di sana.
Gadis itu melayang ke sana tanpa perlawanan. Pantatnya mendarat dengan lembut, tapi kemudian menjatuhkan badannya ke samping, rebahan. Matanya melihat ke lantai. Tak tertarik dengan apa yang Angga lakukan.
Angga mendesah sambil tertawa, ada-ada saja kelakuan makhluk di depannya ini. ia mengeluarkan beberapa lembar kertas dari dalam tasnya.
"Ningsih, ini identitas kamu yang baru. Sekarang kamu bisa tinggal di sini,"
Gadis itu mengeryit, ia bangkit.
"Untuk apa? Aku mau kembali ke hutan," ujarnya.
"Kamu lupa? Katanya mau ditunjukin cinta," Angga tergelitik dengan dialognya sendiri, tak menyangka akan semenjijikan itu untuk mengucapkannya.
"Kalau kamu ke hutan, terus mainnya sama ular, gimana kamu bisa bisa tau cinta-cintaan. Emang bisa bercinta sama ular?" guraunya.
Ningsih melempar punggungnya ke sandaran sofa. Matanya menerawang Angga.
"Entahlah, anak muda. Kupikir kau tahu aku cuma bercanda. Aku sudah hidup hampir seribu tahun dan akan hidup lebih dari seribu tahun, permainan cinta konyol tidak akan menyenangkan aku,"
Dahi lelaki itu mengerut, ia menghela napas pelan. Berpikir sejenak.
"Untuk itulah aku ada di sini. Hidupku memang singkat, tapi aku bisa beri kamu satu pengalaman menyenangkan,"
Lelaki itu berdiri. Tangannnya terulur ke hadapan Ningsih.
"Kamu boleh bercanda, tapi aku serius. Ayo temukan sesuatu yang kamu senangi untuk mengenal cinta,"
Ningsih menatapnya dalam, kemudian sebuah seringai terbit dan ia tertawa nyaring.
"Apa kau sadar apa yang kau lakukan, anak muda? Menawarkan sesuatu pada iblis bukan sesuatu yang baik," ujarnya.
Angga tersenyum simpul, netranya dengan berani menatap mata Ningsih, membuat seringan gadis itu menghilang berganti tatapan tajam. Manusia itu benar-benar tak ada takut-takutnya dengannya.
"Bukannya, kamu sendiri yang bilang kamu manusia?" tanya lelaki itu.
"Dan kau percaya?" balas Ningsih.
Angga menarik tangan Ningsih sampai ia terpaksa berdiri. Gadis itu terkejut merasakan kekuatan besar Angga. Ia berdiri begitu dekat dengan Angga. Tubuh Ningsih tidak terlalu semampai, pucuk kepalanya sejajar dengan bahu Angga.
Lelaki itu membelai pipi Ningsih menarik tatapan nyalang Ningsih padanya.
"Rasanya tak mungkin ada iblis secantik kamu," ujar Angga.
Manusia itu begitu mengintimidasi. Entah mengapa Ningsih menjadi was-was. Sejak awal Ningsih tahu laki-laki ini tak biasa. Tapi ia tak menyangka bahwa segala hal tentang lelaki itu melebihi ekspektasinya.
Ningsih merengut, tak bisa membaca isi kepala Angga. Padahal dulu ia berharap bisa terlepas dari kekuatan itu, sekarang ia baru menyadari seberapa pentingnya bisa membaca pikiran orang lain.
Sedang Angga tak bisa menahan senyum gelinya. Gadis itu sekarang benar-benar mirip seekor kucing bernama Lola yang dipelihara adiknya. Pemalas, kadang senang mengintilnya, kadang malah senang memusuhinya.
"Apa yang kau mau?" tanya Ningsih galak.
"Kamu,"
Ningsih dengan spontan memukul dada Angga keras, tapi malah dibalas gelak tawa.
"Gosh, you're too cute, i can't contain it," lelaki itu mengacak-acak rambut Ningsih, sedang yang dikerjai masih merajuk, wajahnya memerah.
"Udah. Nyerah aja. Kamu nggak akan rugi kok kalau sama aku,"
Ningsih menetralkan ekspresinya. Mencoba menatap Angga sedatar mungkin, mencoba menyembunyikan degup jantungnya.
Ia jelas pernah membaca novel romansa beserta gombalan receh yang memenuhinya. Tapi, tak pernah menyangka dialog-dialog yang biasa dilontarkan oleh tokoh utama pria sekarang malah ditujukan padanya.
Ningsih kini teringat masa saat umurnya begitu muda, masa di mana ia masih begitu naif, di mana ia begitu kecanduan buku-buku percintaan dewasa dan hampir saban hari ia menanti-nanti seorang pujangga mendekatinya. Jauh sebelum ia mengetahui fakta miris bahwa cinta itu tak selalu manis, kadang membawa mala petaka.
Netra merah itu kembali menggelap, diikuti senyum simpul Angga yang menghilang.
"Kenapa sih?" tanyanya, namun gadis itu hanya diam.
Angga menarik tubuh Ningsih untuk jatuh dalam pelukannya. Sekejap tubuh gadis itu tersentak kaku, namun tak menolak. Angga mengusap bahunya lembut sampai hilang semua kaku, bahu itu jatuh lemas dan berpasrah dipeluk Angga.
"Aku lebih suka lihat kamu ngambek dari pada lihat kamu sedih,"
Gadis itu memejamkan mata. Meresapi bau manusia itu yang selalu ia ingat. Hangat, pikirnya. Nostalgia tiba-tiba datang, rasa pelukan Angga mirip dengan rasa pelukan Ibunya. Begitu nyaman dan menenangkan. Mungkin singgah sebentar di dekat lelaki itu tak buruk juga.
Mungkin benar, mungkin ia akan mencoba memaknai sebuah hubungan sekali dalam hidupnya.
▪︎▪︎▪︎
Hai Kywan di sini, gimana? Bosen? Wkwk aku ngerti kalau gaya nulis aku agak bosenin, makanya makasih banget yang udah mau bertahan baca cerita ini.
Btw, maaf aku nggak update sesuai jadwal, sebagai gantinya aku update dua chapter hari ini ya <3
KAMU SEDANG MEMBACA
White Devil
FantasyNingsih sudah hidup hampir seribu tahun. Masa remajanya di mulai pada masa kerajaan Hindu-Budha. Pernah tujuh belas tahun ia hidup dalam kebohongan yang dilontarkan ibunya sendiri. Perihal yang tampaknya kecil namun semakin membesar seiringan dengan...