14. Next Chair

99 16 35
                                    

Ningsih tak berhenti memerhatikan gelagat gadis yang duduk di sebelahnya. Gadis itu tak mau menatap Ningsih dan selalu menghindari kontak langsung. Sudah dua jam berlalu dan akan pergantian pelajaran. Namun belum ada satu topik pembicaraan pun yang terseru dari mulut keduanya.

Sayang sekali padahal Ningsih sudah menyiapkan diri untuk berkenalan dengan manusia ini. Ia bahkan sudah menyusun kata-kata di kepalanya yang sesuai dengan standar kesopanan Angga.

Namun dilihatnya gadis itu justru semakin diperhatikan semakin merasa risih. Ningsih jadi tak tahu bagaimana memulainya.

Berkebalikan, gadis yang duduk sendirian di meja sebelahya malah terang-terangan melempar tatapan menyelidik padanya.

Ningsih tentu membalas tatapan itu sesekali dengan senyum, tapi gadis itu tak mengatakan apapun. Ia juga tak tahu apa yang gadis itu pikirkan, mungkin karena lensa kontak yang ia pakai, benda itu sepertinya menghalangi kekuatannya.

Tak lama seorang guru wanita masuk ke kelas itu untuk menggantikan pak Fahrul. Ningsih memerhatikan penampilan wanita itu dari atas ke bawah. Lalu, ketika wanita itu tersenyum angkuh padanya, Ningsih membalasnya dengan senyum biasa dengan senang hati.

"Saya dengar ada murid baru di sini, coba angkat tangan, saya mau kenalan,"

Semua mata menuju Ningsih. Namun gadis itu hanya diam menatap kosong pada Bu guru.

Dalam sekali lihat pun, Bu Ratih tahu mana anak baru itu. Namun Ningsih yang mematung membuatnya mengeryit heran dan semakin menuntut.

"Halo? Anak baru silakan angkat tangan," ujarnya lagi.

Tapi Ningsih masih bergeming. Hal itu menarik gadis meja sebelah untuk menoelnya dengan ekor pensil, yang kemudian Ningsih menoleh padanya.

"Lo disuruh angkat tangan tuh, kok malah diem," bisiknya.

Ningsih spontan menjawab dengan kata "oh" yang tanpa suara.

Kemudian gadis itu mengangkat tangan, tidak satu, tapi keduanya. Membuat satu kelas menatapnya aneh. Bahkan gadis meja sebelah berusaha menahan tawa.

Telinga tajamnya dapat mendengar bisikan anak laki-laki yang spontan berkata,

"Wew, nantangin bu guru,"

Bu Ratih menahan napas, suaranya dingin.

"Perkenalkan diri kamu,"

"Saya Ningsih,"

Sudah. Begitu saja. Sama seperti perkenalan sebelumnya.

Sebelum menurunkan kedua tangannya, matanya sempat berkeliling ke penjuru kelas.

Bu Ratih mengangguk mengikhlaskan perkenalan yang tak berkesan itu. Namun, sepanjang kelas ia tak berhenti mencecar Ningsih dengan pertanyaan sulit. Niat awalnya untuk menguji gadis itu dan mempermalukannya apabila gadis itu tak berhasil menjawab.

Fisika jelas bukan pelajaran Favorit Ningsih. Tapi ia ingat perkataan Angga kemarin sore.

"Besok hari pertama kamu masuk bakal ada pelajaran Fisika. Gurunya ganas. Buat jaga-jaga mending belajar deh,"

Maka ia membaca buku pelajaran itu sepanjang malam, menghapal setiap isi bahkan nomor halaman pembahasan.

Untungnya, Ningsih punya ingatan yang baik. Tak sulit menguasai pelajaran itu dalam satu malam walau tak hampir sempurna.

Bu Ratih menyerah setelah beberapa pertanyaan yang ia lontarkan dijawab dengan benar oleh Ningsih. Lalu, kelas itu pun berakhir.

Desahan napas keluar dari mulut Ningsih. Orang-orang mulai bergerombol di sekitarnya. Mereka berebut untuk mengobrol dengan Ningsih.

Celetukan-celetukan tidak penting dilempar ke arahnya tanpa pikir panjang.

"Namalo indo banget, kontras ama mukalo bule banget,"

"Eh nomor WA lo mana? Sini gue masukin grup kelas,"

"Instagram lo apa? Follow-followan yuk,"

"Bener ya lo ponakannya pak Angga?"

Ningsih bisa mendengar semuanya walau kalimat-kalimat itu saling bercampur dan mengolah bising. Namun, ia tak tahu mana yang harus ia jawab dahulu.

Tiba-tiba Ningsih tersentak karena gadis di sebelahnya tiba-tiba berdiri menimbulkan suara kursi yang seolah memukul lantai dengan nyaring. Gadis itu segera pergi dari sana ketika semua mata menatap ke arahnya.

"Kenapa tu si Ayu?"

"Au, nggak jelas," ujar dua orang bersahutan.

"Ayu?" Ningsih mengulang nama gadis itu.

"Iya, Ayu. Sri Rahayu, duduk sebelahan masa belum kenalan," kata Marsha, gadis yang baru Ningsih ketahui punya peran sebagai ketua kelas di kelas ini.

"Takut tuh si Ayu liat muka lo semua, serem kek setan," celetuk gadis meja sebelah yang masih duduk di tempatnya.

"Dih, cakep lo?" balas gadis lain yang riasannya begitu tampak meskipun ia sudah berusaha merias senatural mungkin.

"Buta lo?" ujar si gadis meja sebelah tak mau kalah.

Ningsih menatap lamat-lamat si gadis, kemudian mengulurkan tangan kanannya.

"Namaku Ningsih," katanya.

"Semua juga tau lo Ningsih," jawab gadis itu ketus, dibalas senyum oleh Ningsih.

"Nama kamu siapa?" tanya Ningsih masih belum menurunkan tangannya.

"Elisa," jawabnya singkat tanpa menggapai tangan Ningsih.

Penghuni kelas kompak melihat Ningsih dan Elisa bergantian.

"Sama Elisa belum kenal juga? Bukannya keluarga ya? Kan Elisa adeknya pak Angga,"

Elisa tiba-tiba berdiri dan melengos pergi tanpa pamit menginggalkan semua orang keheranan.

:::::::::::::::::::

Ningsih kabur menaiki tangga menuju lantai tiga di seberang gedung tempat kelasnya berada. Lantai itu sepi sekali. Tak ada satu pun manusia yang ia lihat.

Namun, ada satu bau yang ia kenal. Milik Ayu, gadis yang duduk di bangku sebelahnya. Ningsih tergelitik untuk mengikuti bau itu. Satu per satu jendela menampakan isi dari masing-masing kelas.

Ada yang kosong. Bahkan tak ada satu pun bangku di sana. Mungkin memang bangunan ini sudah jarang dipakai. Karena dilihat dari catnya yang sudah benyak mengelupas, plafon yang rapuh bahkan ada yg bolong. Beberapa kelas lain ia lihat dijadikan sebagai gudang penyimpanan.

Hampir sampai ia di ujung lorong. Lewat jendela di lihatnya seorang gadis duduk di atas meja sendirian, menghadap jendela di sebrang sana. Entah apa yang ia perhatikan, sampai wajahnya terlihat murung.

Ningsih mengetuk pintu. Gadis itu terkejut sampai melompat dari meja. Begitu melihat Ningsih ia segera menunduk dan bergesa mencoba keluar dari ruangan itu. Namun Ningsih mencegat tangannya.

"Mau ke mana nduk Ayu?" suara rendah dan merdu milik Ningsih membuat bulu kuduk Ayu bergelenyar. Ia tak mampu bersuara. Sudah tabiatnya begitu, memang tidak suka bicara, apalagi dengan orang asing yang bahkan bekum resmi berkenalan.

"Kok diam?" tanya Ningsih lagi.

"Bukan urusan kamu," cicit Ayu. Lalu gadis itu segera melepaskan genggaman tangan Ningsih, dan berlari dari situ.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 24, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

White Devil Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang