7. Perpisahan yang berarti

76 37 43
                                    

Ningsih duduk di tengah ruang tamu yang luas. Matanya mengitari seluruh ruangan. Interior-interior minimalis namun tampak fancy itu tampak sedap di pandang.

Wanita yang membawanya ke sana datang membawa nampan yang terdapat dua cangkir teh dan satu piring kue cokelat kesukaan Ningsih. Ningsih tersenyum ketika wanita itu juga tersenyum ke arahnya.

"Kau sudah kaya rupanya," ujar Ningsih. Wanita itu tertawa ringan.

"Berkatmu aku punya banyak waktu untuk memupuk kekayaan,"

"Aku sudah menyiapkan kematianku," lanjutnya, air muka wanita itu berubah serius.

"Aku bahkan sudah membeli lahan kubur yang mewah," wanita itu tertawa getir. Sedang Ningsih hanya mengangguk-angguk. Ia memotong kue cokelat dengan garpu dan lalu menyuapnya.

Sudah tiga ratus tahun mereka tak bertemu. Pertama kali, wanita itu masih seorang gadis bernama Banurasmi yang berumur empat belas tahun. Kala itu, ia berusaha kabur dari orang-orang biadab yang ingin menjualnya pada orang putih. Di tengah pelariannya ia ditikam sebuah parang yang merobek sebagian perutnya. Ningsih yang saat itu begitu bosan tak sengaja menemukannya sekarat ditinggalkan sebab tak dianggap berguna lagi. Sampai nyawanya hampir melayang, ia diberikan pilihan apakah ia ingin mati dengan tenang atau hidup dalam keresahan.

Lalu, ia memilih untuk bertahan hidup. Kala itu, Ningsih belum menyempurnakan ilmu penyembuhan, ia memberikan darahnya untuk diminum oleh Banurasmi. Dalam sekejap darah mereka bercampur. Kemampuan regenerasi tubuh Banurasmi menjadi cepat seperti Ningsih, sebentar tubuhnya merasa sakit sebab pertumbuhan badannya yang cepat menjadi wanita dewasa, tetapi ia akan tetap muda dan hidup sampai waktu yang ditentukan alam.

Mereka tinggal bersama bertahun-tahun. Ningsih mengajarinya membaca dan menulis. Mengajarinya cara bertahan hidup di dunia yang kejam. Sampai suatu ketika Ningsih memutuskan untuk pindah ke tempat lain, Banurasmi memilih untuk tinggal dan hidup sendiri. Ia melewati waktu demi waktu sendiri, dengan kelicikkan dan kecerdasan yang diturunkan Ningsih padanya, ia bertahan hidup dan mencari uang hingga menjadi kaya raya.

Dan sekarang, alam sudah mau memanggilnya. Tubuhnya kembali menua, keriput muncul di wajahnya. Penyakit yang awalnya ia kebal sekarang mulai menggerogotinya.

"Maaf sudah membuatmu hidup terlalu lama," ujar Ningsih tiba-tiba.

"Aku justru berterima kasih. Berkatmu, aku dapat bertemu orang-orang yang berharga setiap abadnya," balasnya.

"Pasti berat ketika kau melihat mereka mati duluan," kata Ningsih. Banurasmi tertawa kecil.

"Benar, tapi aku tak pernah menyesal," Wanita itu bersungguh-sungguh mengatakannya.

"Tapi sekarang jiwaku sudah lelah, begitu pula jasadku. Kamu benar soal kematian adalah anugrah yang diberikan pada manusia. Waktu dokter bilang hidupku sudah tak lama lagi, entah mengapa aku merasa lega. Entah karena semua yang sulit akan segera berakhir atau karena aku akan segera menyusul orang-orang yang kusayangi," ujar Banurasmi tersenyum simpul.

Ningsih kembali menyeringai, gadis itu akhir-akhir ini menjadi lebih murah senyum.

"Nanti kalau kau sudah jadi hantu, ceritakan padaku bagaimana rasanya mati," ujar Ningsih. Banurasmi kembali tertawa.

"Bukannya kamu sendiri yang bilang semua jiwa manusia ketika meninggal tak akan pernah menetap di bumi,"

"Memang tak menetap di bumi, tapi di bawah bumi. Pergi ke dasar bumi bukan masalah bagiku," Ningsih meminum teh yang sudah mulai dingin seiring percakapan mereka.

Banurasmi hanya diam menatap Ningsih. Ada sedikit sendu di sana. Tubuh Ningsih memang lebih kecil darinya, tapi gadis itu sudah hidup lebih lama darinya. Pahit manis kehidupan lebih banyak ia rasakan. Sosok Ningsih sebagai seorang yang dihormati Banurasmi tak akan pernah hilang dari jati dirinya.

White Devil Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang