Awan abu memenuhi langit malam yang kokoh, menghalangi kerlap-kerlip bintang, menambah gelap suasana desa yang belum mengenal lampu listrik itu.
Suara binatang saling menyahut di antara belantara pepohonan. Daun-daun bergemerisik menyembunyikan sesuatu yang entah apa. Menambah riuh rintik yang tiba-tiba datang, melebat diikuti kilat yang kian dekat menyambar. Menyamarkan suara rintihan seorang wanita yang tengah bergelut dengan perutnya yang besar.
Napasnya menggebu, mencoba mengeluarkan apa yang ada dalam tubuhnya, calon manusia baru. Ia meraih apa saja yang bisa ia jangkau. Meremasnya kuat kala dukun beranak disampingnya terus memberinya aba-aba untuk terus menarik dan membuang napas panjang.
Suasana malam itu entah mengapa terasa berat. Sudah dua jam lebih wanita itu menahan sakit, namun calon bayinya tak kunjung keluar, seolah ia masih betah bertahan di dalam sana.
Guntur semakin bersemangat meraung di atas sana. Sementara wanita itu sudah hampir kehabisan suaranya. Dukun beranak itu terus berusaha menarik tubuh si calon bayi keluar.
Tak lama, perut wanita itu mengempis. Tubuh sang bayi berada di gendongan dukun beranak. Namun, tak ada tangisan apapun yang keluar. Si wanita tampak khawatir. Sementara si dukun berusah melakukan sesuatu. Ia terus menepuk-nepuk pipi si bayi, mencubitnya. Namun nihil, sang bayi tetap bergeming.
Wanita itu memeluk bayinya. Tangisnya pecah bercampur geram hujan. Si dukun beranak hanya diam menatap kasihan.
Namun tiba-tiba saja, kilat menyambar begitu dekat di halaman belakang rumah, guntur menggeram begitu nyaring dan dalam. Bersama dengan itu, tangis sang bayi ikut pecah. Semburat bahagia tiba di sela tangis sang ibu baru.
Namun tidak dengan halnya si dukun. Ia terperangah, terperanjat ke belakang.
"Iblis! Kutukan!" Serunya pada keluarga baru itu. Sang ibu menatapnya bingung.
Mata sang bayi terbuka, menyala merah, tangisnya kian kencang membuat udara di sekitarnya bergetar. Awan abu menyingkir seolah membiarkan sang purnama menerawang sang bayi.
"Iblis! Iblis!" teriak si dukun, ia berlari keluar rumah dengan membuat keributan.
"Tidak! Dia bayiku! Dia bukan iblis!" Wanita itu memeluk erat bayinya. Ditatapnya dan dibelainya raut gelisah di wajah bayi itu.
"Benar. Kau bayiku, kau manusia. Ningsih. Itu namamu, seperti yang 'dia' katakan," lirih wanita itu kembali memeluk tubuh kecil dan rapuh sang bayi.
Gadis belia itu duduk tenang di bawah pohon beringin. Tubuh kecilnya memeluk lutut. Bola matanya merah menyala, bulu matanya berwarna putih sewarna rambutnya mengerjap pelan-pelan. Menatap anak-anak sebayanya yang sedang berlarian ke sana ke mari.
Menjadi berbeda adalah satu hal yang paling menakutkan bagi manusia. Itulah yang gadis itu pelajari selama tiga belas tahun hidupnya. Karena itu lah tak ada yang berani mendekatinya sebab ia berbeda. Manusia-manusia itu berlindung di balik sebuah kesamaan. Sama artinya berteman. Beda artinya bermusuhan. Selama hidupnya, Ningsih-begitu gadis itu dipanggil_ diperlakukan sebagai musuh manusia. Dan mereka makhluk-makhluk yang menyebut dirinya "Manusia" menjulukinya sebagai Ningsih si Iblis Putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Devil
FantasíaNingsih sudah hidup hampir seribu tahun. Masa remajanya di mulai pada masa kerajaan Hindu-Budha. Pernah tujuh belas tahun ia hidup dalam kebohongan yang dilontarkan ibunya sendiri. Perihal yang tampaknya kecil namun semakin membesar seiringan dengan...