Akhir pekan Angga, ia habiskan dengan bergelung di atas sofa untuk menonton film dan acara tv dengan Ningsih.
Setelah pergelutan batin antara Ningsih dengan dirinya sendiri, gadis itu memutuskan untuk menerima tawaran Angga. Gadis itu menjadi lebih jinak. Ia bahkan menuruti semua perintah Angga. Sekecil pun hal seperti mengambalikan buku yang sudah ia baca ke tempatnya.
Ningsih bahkan terang-terangan menjadi lengket pada Angga. Ia akan selalu mencari celah untuk masuk ke lipatan ketek lelaki itu dan merebahkan kepalanya di dada bidang sang manusia. Ia rupanya jadi kecanduan dengan sentuh dan bau Angga.
Angga tentu tak akan menolak. Ia akan dengan senang hati mengapit tubuh kecil gadis itu di sisinya. Bahkan tak segan membelai rambut seputih salju milik Ningsih.
Dua hari liburnya di akhir pekan dipergunakannya untuk mengenal Ningsih. Diketahuinya, Ningsih lebih sering memejamkan mata dan mendengkur. Ia hanya akan membaca ketika ia benar-benar ingin membaca, ia akan menonton tv kalau tv itu menarik perhatiaannya.
Terkadang dilihat Angga gadis itu rebah di atas lantai porselen menerawang ke langit-langit ruangan. Ketika ditanya jawabannya tak jauh-jauh dari buku yang pernah ia baca dan selalu menarik gelak tawa ranyah khas Angga.
Gadis itu akan tiba-tiba bangkit ketika tv menampilkan iklan cokelat apapun merknya. Hal itu membuat Angga membelikannya satu dus cokelat yang kemudian ia simpan di dalam kulkas.
Satu lagi, gadis itu selalu tertarik dengan hal-hal baru. Ia tak pernah malu bertanya akan sesuatu yang ia tak mengerti. Terutama soal teknologi. Waktu Angga memperlihatkan handphonenya pada Ningsih, gadis itu tak mau melepaskan benda itu sampai ia puas. Dan ketika ia puas, ia dengan cepat menjadi bosan dan meninggalkan benda itu dengan sendirinya.
Pada hari senin, Angga musti pergi ke sekolah dan menjalankan tugasnya sebagai seorang guru. Ia pergi pagi-pagi sekali agar menjadi contoh yang baik untuk anak muridnya, tapi ia tak lupa menyempatkan diri untuk berpamitan pada Ningsih. Walau gadis itu hanya mengangguk setengah sadar sementara tubuhnya masih bergelung di atas spray berwarna putih.
Ketika matahari benar-benar naik, barulah ia bangkit dan membersihkan diri di kamar mandi.
•••••
"Gara-gara sistem zonasi, kualitas siswa kita jadi sedikit menurun. Banyak anak yang hanya kebetulan tinggal di dekat sini padahal tidak punya potensi, malah berhasil lolos dengan nilai UN seadanya," ujar satu orang guru wanita berkacamata dan memakai blazer abu-abu di depan ruang rapat. Ia menjelaskan segala bentuk dampak buruk sistem pendidikan yang baru saja digalakan pemerintah itu seolah sedang berkeluh kesah.
"Saya harap dengan adanya sistem kelas berdasarkan peringkat ini bisa memacu siswa untuk bersaing dan naik ke atas," sambungnya.
Angga memutar-mutar bolpoin di atas jemari lentiknya, ia mencermati setiap tanggapan dari guru lain.
"Tapi sekolah ini tempat belajar, bu. Bukan tampat berkompetisi. Saya takut, dengan sistem ini malah membuat anak-anak lain merasa didiskriminasi," sanggah Pak Richard seorang guru olahraga yang masih terlihat kekar meski sudah berumur.
Angga mengangguk-angguk setuju. Tapi ia tak bersuara. Statusnya di ruangan itu hanya sebagai junior yang baru bekerja selama dua tahun. Kastanya masih jauh dari guru-guru senior itu yang sudah bekerja puluhan tahun.
"Lantas, apa bapak punya solusi yang lebih baik?" tanya guru itu, Bu Ratih. Ia tampak tak suka dengan selaan Pak Richard.
"Saya rasa kita harus tetap berpegang dengan sistem sebelumnya, hanya saja kita musti meningkatkan metode belajar mengajar yang lebih efektif untuk menarik minat anak-anak untuk belajar,"
KAMU SEDANG MEMBACA
White Devil
FantasyNingsih sudah hidup hampir seribu tahun. Masa remajanya di mulai pada masa kerajaan Hindu-Budha. Pernah tujuh belas tahun ia hidup dalam kebohongan yang dilontarkan ibunya sendiri. Perihal yang tampaknya kecil namun semakin membesar seiringan dengan...