Pemakaman itu digelar tertutup. Tak ada media yang boleh datang. Tak ada yang boleh mengambil foto dan video apalagi menguploadnya ke sosial media.
Meski begitu, berita tentang kematian seorang Michelle Banurasmi telah tersebar di seluruh Nusantara. Ia adalah salah seorang paling berpengaruh dalam ekonomi dan dunia hiburan Indonesia. Tentu saja, kematiannya membuat geger semua orang.
Ningsih berdiri di samping kuburan Banurasmi. Lagi-lagi ia menjadi pusat perhatian, meski begitu tak ada yang berani mengambil foto.
Penampilannya tak berubah sejak semalam, hanya helai-helai rambutnya berantakan keluar dari sanggul. Bertelanjang kaki seperti biasa.
Banyak yang mempertanyakan asal-usulnya, siapa dia, mengapa ada di sana, bukannya hanya orang terdekat yang boleh masuk pemakaman. Namun tak ada satupun dari para penjaga yang mengusirnya.
Ningsih menarik satu tangkai bunga mawar yang menghias rambutnya, warnanya sudah sedikit menghitam. Dilemparkannya bunga itu ke atas tanah kuburan, di atas Nisan tertulis,
Michelle Banurasmi Puteri Ningsih
Ningsih sudah tak mampu lagi menertawakan nama itu. Ia tahu Banurasmi sering mengganti atau menambahkan nama yang aneh-aneh setiap kali memalsukan kematiannya. Namun, kali ini dia benar-benar mati, benar-benar tiada.
Ningsih sudah tak berselera pula untuk menyelesaikan tujuannya datang ke kota itu. Rasanya ia hanya ingin pulang ke hutan mana pun yang pernah ia tinggali dan tak akan pernah keluar lagi.
Namun, Angga sudah ada di sana. Berdiri di seberangnya, dengan mata yang tak lepas dari sosok Ningsih.
Angga datang ke sana sebagai perwakilan Ayahnya yang pernah menjadi rekan Banurasmi.
Ningsih tentu sadar lelaki itu sudah berdiri di sana sejak tadi, namun ia tak menghiraukannya. Ia sudah tak peduli lagi dengan manusia manapun di dunia ini yang tak abadi.
Tingkah Angga yang tak mau melepaskan matanya dari gadis itu, bahkan ketika Wulan rupanya berdiri tak jauh dari sebelah Ningsih jelas membuat tanda tanya di kepala Dimas yang juga datang menemani Angga. Tapi ia hanya diam, mendengarkan seorang Ustadz memanjatkan doa-doa.
Tak lama, upacara pemakaman selesai. Orang-orang bubar berhamburan. Tapi Ningsih tetap di sana, begitu pula Angga dan Dimas.
Wulan yang merasa ada yang aneh dengan Angga sebab lelaki yang begitu candu pada parasnya itu hari ini tak ada menatapnya barang sedetik, mendekat ke arah Angga.
"Hai, Ga," sapanya yang hanya dibalas gumam Angga.
"About yesterday, let's talk,"
"Udah nggak perlu. Semoga langgeng ya," ujar Angga tanpa ekspresi. Sedang Wulan mengerutkan dahinya heran. Sedikit api emosi tersulut di sana. Ada rasa tak terima dengan perubahan Angga yang tiba-tiba.
"What-" ucapan Wulan terpotong sebab Angga tak bergeming saat dilihatnya Ningsih berbalik dan berjalan pergi.
Pria itu mengejarnya, meninggalkan dua orang lain di belakang.
Ningsih tak berlari sampai Angga akhirnya bisa menangkap tangan Ningsih. Untungnya gadis itu tak langsung terbang sesaat setelah keluar dari lingkungan pemakaman.
Ia menarik tangan itu sampai tubuh Ningsih berbalik. Tapi gadis itu menolak untuk menatap Angga. Hari ini ia tak ingin membaca siapapun.
"Mau kemana?" tanya Angga padanya.
"Pulang," jawabnya lantas membuat Angga mengeryit.
"Tapi kita baru ketemu,"
Ningsih menghela napas, rasanya ia tak ada tenaga lagi untuk membalas Angga. Sementara Angga merasa ada yang berbeda dengan Ningsih, manik merahnya seolah memudar, tak ada lagi api di sana seperti kemarin, atau dulu ketika mereka pertama bertemu. Angga membawa tangannya turun untuk menggenggam telapak tangan Ningsih. Gadis itu sedikit terkejut, sesaat akan menatap Angga, namun pria itu keburu menoleh melihat temannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Devil
FantasyNingsih sudah hidup hampir seribu tahun. Masa remajanya di mulai pada masa kerajaan Hindu-Budha. Pernah tujuh belas tahun ia hidup dalam kebohongan yang dilontarkan ibunya sendiri. Perihal yang tampaknya kecil namun semakin membesar seiringan dengan...