15 Tahun Kemudian...
Jakarta, kota yang susah payah ia cari letaknya, rupanya adalah kota yang dulu bernama Batavia. Sebelum sampai tadi, Ningsih bertanya pada semua makhluk yang ia temui arah menuju Jakarta, dan rupanya kota itu sudah berubah drastis sejak ia terakhir kali kemari, sekitar satu abad yang lalu. Satu-satunya yang membuat Ningsih yakin bahwa kota itu adalah batavia adalah arah mata angin.
Ningsih memang suka berpindah-pindah tempat tinggal beberapa puluh tahun sekali, namun ia tak pernah lupa arah mata angin tempat itu, seolah Ningsih mencetak petanya sendiri dalam kepala.
Ningsih mendarat di tepi sungai yang agak sepi.
"Kau yakin ini tempatnya, Ningsih?" Ujar Beo dipundaknya. Ningsih hanya bergumam.
Ia memandang sekeliling, tampak asing. Balok yang menjulang tinggi memantulkan gambar langit berada di mana-mana. Kendaraan yang bentuknya tampak berbeda sejak pertama ia lihat, melaju dengan kencang. Orang-orang pejalan kaki dengan baju-baju mahal dan bagus tampak kontras dengan gelandangan dan pengemis yang memakai baju-baju sobek dan usang. Kesenjangan sosial yang tampak sekali. Tapi pemandangan ini tak semembosankan pohon-pohon rindang yang menjulang tinggi yang mengelilingi gubuk kecilnya.
Hampir ribuan tahun Ningsih hidup. Walau jarang menampakkan batang hidungnya di antara manusia lain. Ningsih menyadari satu hal, bahwa manusia tidak berevolusi secara fisik namun secara mental dan keterampilan. Kota ini adalah saksi bisunya.
Ningsih melangkah maju, ia tak tahu pasti akan ke mana. Namun yang jelas ia hanya perlu melangkah.
Satu langkah, dua langkah. Semakin dekat ia pada kerumunan orang-orang, sepasang demi sepasang mata mulai menelitinya.
Serba putih dari ujung kepala hingga ujung kaki, kecuali mata dan bibir yang merah menyala. Membawa seekor burung beo dan bertelanjang kaki. Beberapa orang merasa penampilannya unik namun menyeramkan.
Beberapa orang berpendidikan, menyadari bahwa dia adalah gadis albino. Namun, albino di bawah paparan sinar matahari langsung, apakah gadis itu akan baik-baik saja, pikir mereka.
Sementara pedagang dengan gerobak mengiranya seorang turis. Walau begitu tetap saja ada yang janggal dengan Ningsih. Kakinya yang telanjang, serta gaun putihnya yang sudah agak menguning dan kusam. Membuat beberapa orang heran.
"Miss, do you want some drinks?" ujar laki-laki di umur awal empat puluh tahunan menyapanya dari balik gerobak kayu yang ia dorong. Ningsih mengeryit bingung. Ia tahu bahasa Jepang dan Belanda, tapi tak tahu bahasa inggris. Ia ingat bangsa itu pernah mampir sebentar di atas tanahnya. Karena waktunya yang tak lama, Ningsih belum sempat belajar culture mereka lebih dalam. Tak ambil pusing, ia hanya perlu membaca pikiran manusia itu.
"Nda haus mas." Laki-laki itu tampak terkejut mendengar logat jawa dan bahasa indonesia yang lumayan kental. Begitu kontras dengan wajahnya.
Gadis itu lantas berlalu melanjutkan perjalanan, menapakkan kaki telanjangnya di atas semen yang panas akibat menyerap panas sinar matahari. Pandangannya tak luput dari balok menjulang yang mengelilinginya. Bertanya-tanya apakah Angga berada dalam salah satu bangunan itu.
Di tengah padatnya orang-orang yang menunggu lampu hijau di samping zebracross. Pupilnya menangkap sosok tak asing yang berjarak tak kurang dari seratus meter darinya. Sosok itu tak lain adalah Angga. Penampilannya tampak berbeda, dengan kemeja putih berdasi dengan lengan yang dilipat sampai ke atas siku, dan sebuah jas yang bertengger di tangannya, senada dengan warna celana kainnya.
Pria itu tengah bicara pada sebuah benda persegi, ia tampak marah dan menggebu-gebu. Ningsih tak bisa mendengar dengan jelas apa yang pria itu bicarakan karena jarak dan kebisingan kota.
Tak lama Ningsih memperhatikan, lampu lalu lintas menyala hijau. Angga bergegas menyeberang mendahului orang-orang di depannya.
"Beo, kejar dia!" titah Ningsih spontan. Beo segera terbang dari pundak Ningsih untuk mengejar pria itu. Sementara Ningsih susah payah berjalan melewati orang-orang yang berjalan berlawanan dengannya.
Beo mengepak sayapnya lebar, melayang di udara. Tiba-tiba saja sebuah batu kecil menghantam perutnya dengan kencang.
"Burung beo! Burung beo!" ucap seorang anak laki-laki, kegirangan setelah berhasil menembak Beo dengan ketapel favoritnya. Beo oleng dari terbangnya, ia terjatuh ke atas tanah.
Anak laki-laki itu menggenggam tubuh kecil Beo. Beo meronta berusaha melepaskan diri.
"Anak nakal! Anak nakal!" pekik Beo nyaring.
"Beonya bisa ngomong, hebaat."
Dengan tersengal-sengal, Ningsih sampai di hadapan mereka. Ia benci berlari, ia lebih suka terbang.
"Kembalikan ... hhh ... burungku."
"Dia punya aku, orang aku yang nemu duluan."
Ningsih mengernyit jengkel. Tak bertahan lama ketika ia melihat wajah Angga berada di dalam sebuah kendaraan berwarna putih. Ningsih baru ingin mengejarnya, namun Beonya berteriak.
"Ningsih tolong aku! Ningsih!"
Melihat mobil itu telah melaju jauh, Ningsih menghela napas. Beo terus berontak di tangan anak kecil itu. Ningsih menjentikkan jarinya, anak kecil itu seketika membeku, tak bergerak. Ningsih melepaskan cengkraman anak itu dari Beo. Beo akhirnya bisa mengepakkan sayapnya lagi dan hinggap di pundak Ningsih. Jentikkan berikutnya, Ningsih telah menghilang bersamaan saat anak itu dapat kembali bergerak.
"Gara-gara kau aku kehilangannya," ujar Ningsih, ketika mereka mendarat di pinggir sungai. Susah payah Ningsih berlari dan mencari tempat sepi agar orang lain tidak melihatnya terbang. Seandainya ia bisa teleportasi semuanya akan terasa lebih mudah.
"Maafkan aku, Ningsih. Semuanya gara-gara anak nakal itu."
"Apa yang harus kita lakukan sekarang, Ningsih?"
"Tunggu saja sampai malam. Aku tak bisa terbang di antara orang-orang."
Beo membungkuk sedih tak bisa melakukan apa-apa. Ningsih memasuki taman kota yang tak jauh dari sungai. Ia duduk meringkuk di bawah tiang listrik, memandangi orang-orang berlalu-lalang.
Beberapa orang menatapnya kasian, beberapa seolah tak punya simpati. Beberapa lainnya memberinya koin, beberapa lagi menatapnya sebagai peluang.
"Sendirian aja, dik? Itu burung beo kamu?" ujar seorang laki-laki yang datang entah dari mana. Senyumnya tampak tulus namun menyembunyikan maksud terselubung.
Mata Ningsih bertemu dengan mata pria itu. Ningsih membaca pikirannya, lalu menyeringai misterius.
"Aku tak suka pasar gelap, aku juga tak mau jadi pengemis," ujarnya. Laki-laki itu tampak terkejut.
"Maksudnya apa, dik?" Laki-laki itu pura-pura tak mengerti.
Ningsih hanya diam membaca gerak pria itu. Karena tak kunjung mendapat jawaban, pria itu menggaruk tengkuknya salah tingkah. Ia melihat kaki telanjang Ningsih, lalu berinisiatif melepaskan sendalnya.
"Nih, pakai sendal om." Ningsih menerima sendal itu walau enggan.
"Ikut om ke rumah yuk. Di rumah om banyak makanan."
Ningsih merengut kesal karena pria itu masih di sana.
"Yuk." Ningsih menjentikkan jarinya. Pria itu segera pergi meninggalkan Ningsih, sambil menggandeng ilusi. Dalam kepala pria itu, Ningsih ikut dengannya, siap untuk dijual di pasar gelap.
Hipnotis, yang ia tahu sebagai ilmu menipu dengan ilusi, ia dapatkan sejak lahir, baru ia kembangkan ketika remaja. Tak terlalu sering ia gunakan, sebab ia tak suka menipu siapa pun. Ia pernah bersumpah bahwa aksi kriminal yang pernah ia kerjakan hanyalah mencuri.
Ningsih kembali menatap orang berlalu lalang. Bosan, ia memainkan koin-koin yang dilempar orang-orang padanya. Tanpa ia sadari, waktu telah malam. Tak seperti prediksi Ningsih, orang-orang masih tampak menapakki jalanan. Banyak mereka hanya duduk-duduk di pinggir taman, berbincang dan menyantap jajanan.
Gadis itu kemudian berdiri dengan lesu, memakai sendal yang jauh lebih besar dari kaki putihnya. Ia menapak jalan dengan lesu pula. Ia tak bisa hanya diam. Ia akan menemukan Angga segera.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Devil
FantasyNingsih sudah hidup hampir seribu tahun. Masa remajanya di mulai pada masa kerajaan Hindu-Budha. Pernah tujuh belas tahun ia hidup dalam kebohongan yang dilontarkan ibunya sendiri. Perihal yang tampaknya kecil namun semakin membesar seiringan dengan...