Angga perlahan membuka matanya sebelum benar-benar sadarkan diri. Ia menyadari sakit di sekujur tubuhnya, serta perban-perban yang membuatnya sulit bergerak.
Pupil coklatnya bergerak-gerak menyusuri ruangan kecoklatan itu.
"Apakah ini surga?" gumamnya lirih.
"Aku terkesan kau menganggap gubuk tua ini surga." Angga tersentak mendengar suara halus seorang wanita. Ditolehkannya lehernya ke arah sumber suara. Tampak gadis itu tengah berbaring menyamping dengan bertumpu pada lengan sopa.
Kata pertama yang muncul di benaknya adalah, cantik. Walau Angga sedikit takut dengan warna matanya yang menyala merah. Namun kulitnya yang seputih susu dan rambut sewarna salju menarik Angga untuk menatapnya lebih lama. Menakutkan, cantik, dan eksotis dalam waktu yang bersamaan.
Angga agak yakin gadis ini mengalami mutasi gen yang menyebabkan tubuh tidak mampu memproduksi pigmen melanin. Tapi, albino dengan warna mata merah pekat, jarang sekali, Angga belum pernah melihat ini sebelumnya.
"Siapa kamu?" tanya Angga selembut mungkin, tak mau membuat gadis itu takut.
Gadis itu menyeringai, Angga bisa melihat gigi taringnya yang tampak lebih runcing dari manusia biasa. Alih-alih membuat gadis itu takut, malah bulu kuduknya sendiri yang berdiri.
"Aku? Sekitar delapan ratus tahun lalu aku disebut Ningsih si iblis putih, tiga ratus tahun kemudian aku disebut penyihir jahat yang tinggal di puncak gunung, akhir-akhir ini ada juga yang memanggil penunggu hutan terlarang," ujar Ningsih sembari memperbaiki posisi duduknya, Angga mengeryit heran seperti orang bodoh.
"Lalu kau? Siapa kau wahai anak muda?"
Angga bersusah-payah bangkit dari posisi rebahan. Ketika Ningsih menggerakan sedikit jari telunjuknya, tiba-tiba saja tubuh Angga terasa ringan dan dengan mudah ia duduk di atas dipan itu.
"Aku Angga, aku dari Jakarta, aku ke sini sama teman-temanku. Kamu lihat mereka?"
Ningsih hanya diam, menatap wajah laki-laki itu lekat. Angga menelan ludahnya, ia tak punya pilihan selain balik menatap gadis itu. Pupil merah itu tak bisa dibaca, kosong namun menyiratkan sesuatu yang Angga tak paham apa. Angga tenggelam dalam tatapan itu. Anehnya mata itu kini tak membuatnya takut, malah membuatnya takjub dan penasaran.
Ningsih kemudian tersenyum misterius. Membuat Angga semakin heran dengan tingkah gadis itu.
Tiba-tiba, Angga merasakan sesuatu menyentuh pergelangan kakinya. Betapa takut dan terkejutnya ia melihat seekor ular pyton yang lebih besar dari lengannya, mencoba melilit kakinya.
Angga memekik nyaring, membuat Ningsih memejamkan mata dan mengernyit, terganggu.
"Cukup ular! Jangan ganggu dia!"
Segera ular itu melepaskan lilitannya, dan pergi melalui pintu gubuk yang usang.
Angga melebarkan mulutnya tak percaya
Namun, gadis itu sama sekali tak bergeming. Ia hanya menatap Angga datar, tapi penuh rasa penasaran. Di sisi lain, Ningsih menahan diri untuk tidak menyentuh tubuh kecil dan wajah imut pria itu. Sepertinya masih dalam masa pertumbuhan, pikirnya.
"Maaf nona Ningsih, sepertinya aku harus pulang," ucap Angga.
"Mengapa? Bukankah di rumah tidak begitu menyenangkan." Ningsih menyembunyikan senyum bangganya karena telah membaca pikiran Angga.
Angga tersenyum. Ia jelas adalah anak yang cerdas untuk mengetahui situasi macam apa ini. Seorang gadis albino yang bicara pada ular, memanggilnya anak muda, dan menklaim bahwa dirinya sendiri telah hidup selama ribuan tahun.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Devil
FantasiaNingsih sudah hidup hampir seribu tahun. Masa remajanya di mulai pada masa kerajaan Hindu-Budha. Pernah tujuh belas tahun ia hidup dalam kebohongan yang dilontarkan ibunya sendiri. Perihal yang tampaknya kecil namun semakin membesar seiringan dengan...