Ningsih menaikan sebelah alisnya menatap aneh pada dirinya sendiri di cermin. Rambut ikal panjang berwarna putih miliknya diikat kuncir kuda, menyisakan poni tipis-tipis di atas alis yang Angga potong tadi malam.
Baju seragam berwarna putih kebesaran berlogo OSIS serta rok abu-abu berlipit tersampir di atas pinggul hingga bawah lututnya.
Ningsih rasanya ingin menertawakan dirinya sendiri. Umurnya sudah sembilan abad, dan ia akan memasuki sebuah tempat dipenuhi manusia-manusia belia dan ia musti berpura-pura jadi bagian dari mereka.
Angga melangkah dengan santai memasuki kamar. Matanya menangkap sosok Ningsih yang bergeming di hadapan cermin. Reflek ia menjulurkan tangannya untuk merapikan helai rambut yang keluar dari ikatan rambut gadis itu.
Ningsih menatap Angga di cermin dari atas ke bawah. Sudut bibir gadis itu naik sebelah mencipta senyum miring yang khas. Ia senang melihat tampilan pria itu. Rambutnya rapi disisir ke belakang. Kemeja putih di masukan dalam celana dengan dasi bermotif garis-garis miring berwarna biru putih.
"Kamu ganteng hari ini,"
Angga tersedak ludahnya sendiri. Mendengar kalimat memalukan itu dari mulut Ningsih sungguh membuatnya geli.
Ia memilih untuk mengabaikan pernyataan itu dan mengambil sebuah kotak berwarna putih dari laci nakas.
Ia membuka kotak itu di depan Ningsih. Di dalamnya ada sepasang lensa kontak berwarna biru langit. Ningsih menyambut kotak itu sambil menatap Angga bingung, ia tak tahu benda apa itu.
"Ini namanya lensa kontak. Buat nutupin warna asli pupil kamu. Cara makenya-"
Belum selesai Angga bicara, dua buah lensa kontak itu sudah melayang-layang di udara. Ningsih memerhatikan benda itu dengan teliti.
"Cukup, nanti berbakteri, mata kamu bisa iritasi,"
Gadis itu dengan naluriah memasang kedua buah bebda itu ke bola matanya. Dahinya mengeryit dalam dan kelopak matanya tak berhenti mengerjap mencoba untuk beradaptasi dengan benda asing itu. Yang mana kemudian gadis itu langsung terperangah ketika ia lihat di cermin warna bola matanya berubah.
Angga berkacak pinggang dan tersenyum, ia sudah menduga akan seperti apa reaksi Ningsih, dan ia begitu puas melihat ekspresi terkejut gadis itu.
Ningsih kembali mengerjap, ia berjalan mendekat ke cermin, menatap lamat-lamat bola matanya sendiri. Ia menempelkan jari-jarinya di permukaan cermin, masih merasa tak percaya.
Namun detik berikutnya ia melangkah mundur. Diikuti tawa kecil yang begitu hambar.
"Andai benda semacam ini sudah ada sejak dulu, mungkin hidupku tak akan begitu sulit," ujarnya.
Angga menghela napas. Mengapa tak ada hari tanpa gadis itu terlihat sedih.
"Is it the right time to be sad? You are going to school now, you should be happy,"
Dalam sekejap gadis itu melempar tatapan jengah pada Angga.
"Sudah kubilang berkali-kali, berhenti menggunakan bahasa yang tak aku mengerti," ujarnya.
"Okay but, FYI. People will recognize you as bule or something like that. And that would be weird if you dont understand english,"
Ningsih mengorek telinga kanannya, rasanya iritasi mendengar kalimat yang ia tak mengerti berulang kali.
"But, it's okay, remember if somebody asks you, you just need to tell them that you grew up here and never went abroad, okay? Understand?"
Ningsih memutar bola matanya dan berbalik badan meninggalkan Angga yang memanggil-manggilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Devil
FantasyNingsih sudah hidup hampir seribu tahun. Masa remajanya di mulai pada masa kerajaan Hindu-Budha. Pernah tujuh belas tahun ia hidup dalam kebohongan yang dilontarkan ibunya sendiri. Perihal yang tampaknya kecil namun semakin membesar seiringan dengan...