Blarr!! Blarrr!! Blarrr!!
Suara petir yang saling menyambar sangat mengagetkanku, petir itu datang bersamaan dengan turunnya air hujan yang sangat deras. Malam ini benar-benar sangat menegangkan. Petir itu seakan seperti sedang menyambar jantungku. Pertanyaannya masih terngiang jelas di kepalaku, tanpa ada niatan untuk aku jawab. Gadis manis nan menarik itu masih menatapku, menunggu jawaban dariku.
"El, jawab pertanyaanku."
Aku menundukkan kepala tanpa berani menatapnya. Bagaimana bisa aku mengakui perasaanku terhadap gadis ini? Sedangkan dia adalah perempuan, terlebih lagi dia adalah adik tiriku sendiri?
Haruskah aku menjawab pertanyaannya?
"El, lihat aku ... Jawab pertanyaanku."
Ternyata memang harus.
Aku menghela nafas. Tidak bisakah gadis ini menunda keingintauannya?
"Kenapa? Kenapa lo tanyain itu ke gue?"
Dengan tidak menjawab, beasty menarik tanganku kedalam genggamannya. Menatapnya dengan ragu, aku tidak tahu arti dari tindakannya itu. Apa yang sebenarnya dia pikirkan?
"Sejak kapan kamu punya perasaan itu ke aku, El?"
Aku kembali menundukkan kepala. Haruskah aku jujur terhadapnya? Haruskah aku mengakuinya?
"Jawab El, aku hanya ingin tau. Aku tidak akan memarahimu atau bahkan memusuhimu."
Aku kembali menghela nafas, benar-benar tidak bisa menebak apa yang sedang dipikirkan oleh gadis ini.
Ditengah irama rintikan hujan dan suara petir yang menggelegar, dengan ragu aku kembali menatap gadis itu. Manik matanya yang indah seolah menarikku kedalam dunia lain. Dunia di mana terdapat banyak sekali bidadari yang sedang menari dengan anggun.
Aku kembali mengais keberanianku yang telah hilang dicuri oleh ucapan gadis itu. Dengan berbekal keberanian yang sangat minim, akhirnya aku mengakuinya. Cepat atau lambat dia memang akan menanyakan hal itu.
"Emmm ... Aku nggak tahu sejak kapan, itu terjadi begitu saja tanpa bisa aku kendalikan. Maaf...."
Beasty semakin memperat genggamannya. Aku merasa seperti seorang pengidap penyakit langka yang sebentar lagi akan meninggalkan dunia ini.
"Nggak perlu minta maaf, ini bukan salah kamu."
Mendengar ucapannya yang terlontar dengan santai, mataku membulat. Aku terkejut. Beasty tersenyum sangat manis. Aku tidak tau harus bersikap seperti apa.
Sedihkah? Marahkah? Senangkah?
"Jadi sekarang kamu udah nggak benci aku?"
Aku tersenyum malu. Sebenarnya sudah sejak lama aku tidak membenci gadis ini, aku bahkan mengijinkan dia masuk ke dalam kehidupanku. Aku tidak bisa menolak pesonanya yang sangat kuat dan berhasil memikat hati dan semua perhatianku.
"Kamu tahu nggak? Ketika kamu mabuk, kamu itu mengatakan semua isi hatimu padaku. Tidakkah kamu mau mengulangi itu? Tapi versi lebih sopan?"
Aku mengernyitkan kening. Maksudnya? Dia mau aku mengatakan kalau aku mencintainya dengan cara yang sopan? Jadi selama ini dia sudah mengetahui isi hatiku? Jadi dia benar-benar masih mengingat kejadian itu?
Aku sudah tidak tahu lagi harus bersikap seperti apa. Apa tindakannya waktu di kolam renang ada hubungannya dengan ini? Mungkinkah dia mencoba menebak perasaanku?
Aku menatap gadis itu lekat-lekat, ingatan tentang dirinya yang mengecupku--walau sebentar--itu kembali terputar. Gadis itu terus mengucapkan sesuatu yang tidak aku dengarkan, fokusku hanya satu, bibir tipis pink pucatnya.
"El, kamu deng—"
Tanpa pikir panjang aku membungkam mulutnya dengan bibirku. Seperti aku waktu di kolam renang, dia menegang terkejut dengan apa yang aku lakukan. Ini adalah kali kedua aku mencium adik tiriku sendiri. Meski aku tahu ini salah, tapi otak dan logikaku sudah tertutup oleh hasrat yang sudah tidak bisa lagi aku redam.
Om Jonas, maafkan aku yang sudah dengan lancang mencintai anak perempuanmu yang sangat manis ini.
++++
=L E N A=
Lagi, untuk kedua kalinya, kakak tiriku membungkam mulutku dengan bibirnya. Dinginnya udara malam ini terasa sirna, karena kakak tiriku berhasil menghangatkan tubuhku dengan hangat dekapannya. Hujan yang turun seolah menjadi irama kecupannya. Lilin-lilin kecil yang tersebar di dalam ruangan ini seolah menjadi saksi bisu perasaan cintanya terhadapku.
Aku memejamkan mata menikmati setiap kecupan yang didaratkan oleh Kak El. Sudah seminggu ini semenjak kejadian Kak El pulang dalam keadaan mabuk, aku selalu memikirkan perkataan Kak El yang dengan jujur mengatakan bahwa dia mencintaiku. Bahkan aku sempat menanyakan hal itu ke Debby.
Aku selalu berusaha untuk menghilangkan perkataan itu dari otakku, tetapi hasilnya nihil. Aku tidak bisa berhenti memikirkan perkataannya. Aku merasa ada yang salah. Tetapi jika mau jujur, aku tidak bisa berhenti memikirkan kakak tiriku yang menyebalkan itu. Mungkinkah aku mulai menyukainya? Atau perasaan ini tumbuh karena aku ingin terus menikmati kecupannya? Ah aku tidak tau. Aku tidak mau memusingkan hal itu.
Tidak lama, Kak El melapaskan bibirnya. Dia menatapku dengan tatapan yang lembut. Ada rasa kehilangan ketika bibir itu meninggalkan bibirku.
"Maaf, tidak seharusnya aku melakukan hal ini."
Aku tersenyum mendengar perkataannya. Mana mungkin aku marah jika yang dia lakukan itu tidak menyakiti ataupun merugikan aku.
"Nggak perlu minta maaf. Aku nggak marah kok. Lain kali jangan memotong kalimatku ya? Dengerin dulu ucapanku sampai selesai, baru boleh melakukan apapun. Oke?"
Tanpa menjawab, Kak El kembali mendekatkan wajahnya mendekati wajahku. Kali ini aku sudah tidak terkejut dan terbiasa. Aku memejamkan mata, menanti bibirnya yang ranum itu.
Untuk beberapa detik, aku tidak merasakan hembusan nafasnya. Aku membuka mata, dan mendapati kakak tiriku yang sedang menahan tawanya. Oh aku sungguh sangat malu. Kalau seperti ini jadi terkesan aku yang mesum, seperti aku yang terlalu menginginkan kecupannya. Oh Tuhan malunya diriku.
"Kenapa? Pengen banget aku cium? Jadi kamu juga kecanduan nih?"
Aku mengerucutkan bibir, dan memalingkan wajah dari hadapannya. Aku malu. Sangat malu.
"Pettite, aku tahu ini salah, tapi aku tidak bisa untuk tidak melihatmu tersenyum. Aku juga tidak bisa berhenti memikirkanmu. Setiap malam sebelum tidur, aku selalu teringat oleh senyumanmu, wajahmu, dan semuanya selalu tentang kamu...."
Kak El menghentikan kalimatnya. Tanpa mau melihatnya, aku masih menunggu kalimat berikutnya.
"Aku janji akan selalu berada disisimu, apapun yang terjadi. Jangan lagi menghindari aku ya? Aku tidak bisa jika tidak ada kamu. Kamu itu melengkapi aku. I love you...." lanjutnya.
Mendengar ucapannya, reflek aku menoleh. Dia tersenyum. Aku mengerjapkan mata. Aku tidak salah dengar kan? Dia bilang 'i love you' kan?
Belum sempat aku menjawab, Kak El sudah mendekatkan wajahnya, dan bibir kami kembali saling menyapa. Kali ini dia tidak mempermainkan aku. Aku menutup mata dan merasakan lumatannya yang lembut.
Dengan posisi masih berciuman, Kak El membaringkan tubuhku. Dia menindihku, aku merangkulkan kedua lenganku melingkari lehernya. Tidak ada jarak diantara kami.
Malam itu ditemani derasnya hujan yang turun dan temaramnya lilin, aku maupun Kak El tidak ada yang mau melepaskan pagutan kami satu sama lain. Aku benar-benar merasakan hangat tubuhnya yang menyatu dengan hangat tubuhku. Lumatannya yang lembut berubah menjadi agresif dan menuntut.
Semesta, apapun yang terjadi, tolong maafkan aku.
================
KAMU SEDANG MEMBACA
Mo Cuishle
RomanceKarena benci telah berevolusi menjadi cinta. Cinta itu bisa datang kapan saja, dimana saja, dan kepada siapa saja, bukan? "Kau adalah papaver somniferum ku." -El. . . . Copyright © 2017 by blavkflannel_ Hak Cipta Terlindungi Status: Completed. Gxg...