Nenekku sudah berusia delapan puluh tahun, sudah tua memang. Walaupun begitu, ia masih terlihat lebih muda dua puluh tahun dari usia sebenarnya. Ia juga masih kuat berjalan, dan melakukan pekerjaan rumah sendiri. Tapi, tentu saja keriput diwajahnya, dan rambutnya yang sudah memutih tak bisa menutupi kebenaran, bahwa ia sudah hampir menginjak satu abad usianya. Sedangkan kakek telah tiada sejak aku dilahirkan.
Sebenarnya, sejak aku menginjak usia remaja aku tidak lagi akrab dengan nenek dikampung. Bertemu pun sangat jarang. Entah karena kami yang sudah sangat jarang berkomunikasi, atau memang karena sebab lain.
Rumah nenek terletak di pelosok desa. Masih dikelilingi hutan, jarak rumah tetangga yang berjauhan, serta jauh dari gedung bertingkat, dan polusi udara. Jalan menuju ke rumah nenek juga sulit, karena arena yang berkelok, dan waspada terhadap longsor, dan jurang. Memilih tinggal di rumah nenek yang berbanding jauh dari kehidupan perkotaan merupakan pilihan yang amat penuh risiko, dan keyakinan. Aku memikirkannya matang-matang.
Menurutku, akan lebih baik seperti ini daripada setiap harinya harus menderita berpura-pura tuli atas keributan yang ditimbulkan oleh kedua orang tuaku di rumah. Jika orang lain menyebut rumahku adalah istanaku, aku malah merasakan sebaliknya. Belum lagi, aku ingin melupakan masa kelamku yang terjerumus pada lingkungan terlarang, dan merugikan.
Aku datang ke desa bersama ibuku menaiki pesawat. Awalnya aku menolak ibu ikut menemaniku ke desa, tapi karena ibu bersikeras ingin mengantar, dan melihat bahwa aku sampai dengan baik, dan selamat, membuatku tak punya pilihan lain.
Untuk ukuran rumah yang berada di desa, rumah nenekku terbilang merupakan bangunan paling besar, dan megah. Rumahnya memang hanya mempunyai tingkat atas, tapi setiap ruangannya begitu luas.
Begitu sampai kami tak banyak mengobrol, hanya berbincang sedikit yang menurutku terdengar seperti sekadar basa-basi menanyai kabar. Selebihnya, nenek dan ibu yang menguasai perbincangan. Sebelum ibu kembali ke Jakarta kami menyantap makanan yang telah dihidangkan nenek di meja makan terlebih dahulu. Ibu memang tidak ikut bermalam disini, karena harus segera kembali bekerja esok hari.
Pukul 20.00 WIB ibuku kembali ke Jakarta. Sekarang rumah dua lantai ini hanya dihuni diriku, dan nenek. Gaya bangunan rumah nenek memang sudah tampak tua, namun masih terawat. Lantai sebagai tempat kaki kami berpijak menggunakan kayu jati, seperti rumah zaman dahulu. Bukan lantai keramik seperti di kota.
Nenek bilang aku boleh memilih kamar yang akan ku tinggali sesuka hatiku. Terdapat tiga kamar dilantai bawah, dan tiga kamar pula dilantai atas. Aku memilih kamar di lantai atas. Sedangkan nenek tidur dikamar bawah. Karena rumah yang besar ini, nenek bilang akan menunjukkan setiap sudut ruang padaku esok, agar dapat beradaptasi. Aku hanya mengiyakan saja.
Disinilah aku sekarang. Berdiri melihat sekeliling tiap sudutnya ruangan kamar yang masih asing bagiku. Ruangan yang didominasi dengan dinding kayu, serta lantainya yang senada. Kasur berseprai putih dengan selimut tebal diatasnya, yang mempunyai kelambu transparan disanggah dengan ukiran kayu, tampak cantik. Terdapat lemari kayu tiga pintu disudut ruangan, serta meja rias dengan kaca besar dihadapannya. Ah, sempurna.
Segera ku rapihkan seadanya baju-baju yang masih berada didalam koper, memindahkannya kedalam lemari. Dan beranjak tidur, merebahkan tubuhku di atas kasur yang sangat menggoda untuk ditiduri itu. Tidak berapa lama kemudian aku sudah larut dalam alam mimpi.
🎬
2017.12.17
Big Luv fr Kim Alawra😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Trapped
Fantasy[Selesai] Dunia apa ini? Start 16 Desember 2017 Finish 20 Desember 2017 Ditulis oleh Kim Alawra IG: itsmethebrightness_