Bagian Satu
Don't stay in one place,
but go until you find something new.
***Senja berwarna merah tua saat aku sampai di Surabaya. Ku tarik nafas dalam-dalam menumpahkan segala lelahku. Sekilas semuanya nampak asing, hanya deru suara jangkrik yang masih sama bunyinya.
"Yah, rumah baru kita ya?" tanya Adrina antusias sambil mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. "Boleh masuk kan yah?" Adrina membuka pintu makin lebar dan menerobos masuk ke dalam rumah.
"Enggak, itu kandang ayam!" dengus Tegar melanjutkan, "Anak ayah ini nggak sabaran banget ya! Bantuin ayah dulu gitu, berat kopernya sayang." dengus Tegar dengan nada menyindir.
"Maafkan anakmu yang kepo tapi manis ini ayah. Anakmu disini membantumu." jawab Adrina cekikikan.
"Bantu berantakin mah iya?"
"Ya enggak lah, tapi bantu doa."
"Sama aja kelezz!"
Tegar dipindahtugaskan ke Surabaya, jadi Adrina harus mengikuti Tegar karena bundanya sudah meninggal 4 tahun silam.
Kini Adrina dan Tegar tinggal di Perum Jatiraya. Jaraknya lumayan jauh dari pusat kota. Tegar memilih perumahan ini karena Adrina tak menyukai kebisingan. Adrina lebih suka menyendiri dan hanyut pada permainan cat air pada kanvasnya.
"Mulai hidup baru kamu disini sayang. Jangan buat masa lalu menguasai masa depan kamu."
"Iya ayah."
Bagi Adrina, bunda adalah sumber kebahagiaannya. Semenjak bunda meninggal, Adrina lebih senang berkutat pada hobinya itu dibanding menghabiskan waktunya di luar sendirian.
***
"Adrina!! Sarapan sayang, udah siang ni." teriak Tegar dari lantai bawah menggema sampai ke kamar Adrina.
Bau masakan Tegar sudah menusuk hidung Adrina sejak tadi. "Woa..omelet keju. Baunya uh..nyegerin." seakan mulutnya tak mampu menampung air liur lagi yang berhimpitan ingin keluar.
"Dasar anak ayah, awas itu mau netes." sergah Tegar sambil mengacak rambut Adrina sembarangan. Tak dihiraukannya, Adrina lahap menyantap omelet-omelet yang tersaji di atas meja.
"Habisin makananya, ayah akan antar kamu ke sekolah. Terus ayah mau lanjut survey perusahaan baru ayah." kata Tegar menjelaskan.
"Nanti ayah jemput aku kan? Aku belum tau jalan Surabaya."
"Iya Nuna!"
Tegar membelah Kota Pahlawan, dengan senyum yang mengembang dari bibirnya. Saat pertama kali Adrina menapakkan kakinya di Surabaya, terasa bagaimana perjuangan para pahlawan mempertahankan Kota Surabaya dengan darahnya. Dapat dilihat dari banyak museum dan gedung-gedung yang dijadikan tempat bersejarah yang membuat Adrina terpana. Setiap sudut Kota Surabaya membuat kagum Adrina.
Sampai ia melihat ada plang bertuliskan "SMA PANCASILA". Bangunannya besar, arsitekturnya masih seperti bangunan peninggalan Belanda. Jendela dan pintunya yang besar dan tinggi, bentuk langit-langit yang menyatu dengan atap, dan konstruksi atap yang relatif tajam agar guyuran air hujan segera jatuh ke tanah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melancholy Miss
Teen FictionSuaranya tetap sama, sama sama sendu. Alunan nadanya beriringan dengan tetes hujan. Tenang namun menyakitkan. Ingat saat kita saling menggenggam erat jari jemari. Takut saling melepaskan. Kini hujan datang lagi. Memunculkan kembali kenangan yang ter...