Bagian Empat
Jika mimpi adalah satu-satunya cara agar aku bisa bersamamu, maka aku tidak akan pernah membuka mataku.
***"Ngapain disitu, Oneng!" tegur Dirga.
"Nunggu taksi lah, ya kali nunggu ujan monyet." dengus Adrina.
"Tukang ojek lo, si Abra kemana? Malu ya nebengin bayi monyet kek lo." cibir Dirga.
"Lagi latian bola buat turnamen besok. Jadi gue nggak bisa nebeng. Idih kalo lo malah tai nya." balas Adrina.
"Ayo bareng gue aja. Taksi susah kalo nunggu disini."
"Gausah makasih, rumah gue jauh."
Dirga turun dari motornya menarik tangan Adrina.
"Serius deh nggak usah. Kasian lo harus bolak balik nganterin gue." Adrina berusaha melepaskan genggaman Dirga.
"Oneng.. Oneng.. lo kalo lagi baik gini gak pantes, nggak cocok." ledek Dirga.
"Lo resek ya tong!" jitak Adrina.
Dengan sigap tangan Dirga mengambil helm dan memakaikannya ke Adrina.
"Pakai helm biar aman!" Dirga mengelus sambil mengetuk ngetuk helm Adrina.
"Aww..." cubit Adrina pada pinggang Dirga.
"Ampun!!" rintih Dirga kesakitan.
Adrina mencoba naik ke motor Dirga dengan mencengkram erat bahu Dirga. Dirga melajukan motornya dengan keceparan sedang.
"Lo tiap hari bawa helm dua tong?"
"Dasar kemal!"
"Atau lo sengaja bawa dua yang satu buat gue? Lo perhatian banget si sama gue." kekeh Adrina.
"Ngarep banget lo. Tu helm punya tukang kebun gue. Tadi nebeng mau pergi ke pasar."
"Udah lah ya, ketahuan masih aja ngeles."
"Bawel gue turunin disini lo!" ancam Dirga.
"Iya deh, gue diem."
Jarum-jarum patah jatuh semakin rapat. Dirga meminggirkan motornya ke bahu jalan dan berteduh di emperan toko kosong.
"Kalo aja lo tadi nggak nolak dulu tawaran gue, pasti kita udah sampe rumah lo."
"Gue kan tadi nggak mau nebeng lo. Berhubung lo nya maksa, gue bisa apa? Udah lah ya, hujan itu nikmat Tuhan yang harus lo syukuri." bela Adrina.
Bagi Dirga hujan itu memilukan. Hujan selalu mengingatkan tentang kenangan yang seharusnya ia kubur dalam dalam.
Adrina tampak bosan karena sedari tadi Dirga menanggapi pertanyaan Adrina dengan seadanya. Adrina lalu mengambil benda ajaibnya pensil dan buku gambar. Adrina tenggelam dalam goresan pena yang mahir dimainkan oleh jemarinya.
"Dulu gue juga suka gambar, apa alasan lo suka gambar?"
"Bagi gue, menggambar adalah pengungkapan perasaan paling rahasia."
Dirga diam sesaat, mencerna perkataan Adrina yang membuat Dirga terpana.
"Dasar Oneng! Sok puitis lo." cibir Dirga.
"Gue nggak puitis. Emang gitu nyatanya."
"Segitunya kah?"
"Menggambar adalah setengah hidup gue. Gue nggak akan berhenti menggambar walau seluruh dunia ingin menghentikan gue."
"Siapa yang menginspirasi lo?" tanya Dirga.
"Bunda gue. Dia bilang gambar dan ayah adalah dua hal berbeda yang sama pentingnya. Bunda orang yang ceria. Lukisannya penuh cinta. Dan aku merindukannya."
"Kalau aja gue bisa sebebas lo mengekspresikan cinta dalam bentuk lukisan yang lo bilang tadi. Tapi sayangnya, karena cinta juga gue berhenti menggambar dan bermimpi." pandang Dirga kosong ke depan.
"Kenapa? Lo salah besar punya pikiran kayak gitu." balas Adrina.
"Menggambar selalu mengingatkan gue tentang kehilangan. Dan gue terlalu enggan membuka lagi luka yang belum kering sepenuhnya."
"Ga seru galau-galauan gini." ucap Adrina. "Makan yuk gue laper."
"Pantes aja, dari tadi gue denger marching band gebuk-gebuk drumnya. Ternyata perut lo."
Mereka hanyut dalam lamunan masing-masing. Hujan masih saja membasahi rerumputan yang ia temui. Menerjang luka-luka yang berlalu dihadapannya.
"Kalau nunggu reda, bisa sampe besok ni." kata Dirga.
"Terus??" tanya Adrina kebingungan.
"Ya ujan-ujanan lah. Lo mau tidur diemperan gini kayak gembel? Kalo gue si ogah banget."
Adrina mematung dan menimbang-nimbang ucapan Dirga yang dilontarkan kepadanya.
"Udah mikirnya nggak usah pake rumus Fisika. Pakek ni jaket gue." perintah Dirga.
Adrina masih tetap diam memandang Dirga. Dingin menyelimuti tubuhnya.
Tak mau berlama-lama, Dirga langsung memakaikan jaket itu ke Adrina. Sangat dekat jarak mereka. Rasanya Adrina tak mampu bernafas saat itu juga.
"Udah liatin gue nya. Gue tau kalo gue ganteng. Tapi pliss gausah diliatin terus." kekeh Dirga.
"Terserah lo tong! Ayo buruan." sergah Adrina.
Kini tangan Adrina tanpa aba-aba berpindah ke pinggang Dirga. Udara malam sangat dingin menusuk tulang Adrina. Sampai motor Dirga berhenti di depan pagar rumah Adrina.
"Makasih buat tebengannya Otong. Makasih juga buat jaketnya." senyum Adrina.
"Oke gue balik dulu. Jangan kangen abang ya Oneng."
"Aduh.. enggak deh. Takut abang Justin cemburu. Buruan gih pulang." perintah Adrina.
"Ini pipi dianggurin?" tanya Dirga.
"Mau? Itu kodoknya siap." balas Adrina.
"Dedek Adrina kok gitu, Abang marah ni."
"Auk ah, sono balik." perintah Adrina.
Dirga menghidupkan motornya dan menembus gelapnya malam. Adrina membuka pintu gerbang dan melihat dua orang menunggunya dengan cemas.
"Adrina!!" panggil Tegar cemas melihat Adrina basah kuyub.
"Kamu dari mana aja? Ayah sama Gandi cemas cariin kamu. HP juga kamu tinggal di rumah. Kamu sukses buat ayah khawatir." ucap Tegar.
"Dek kalo nggak ada yang jemput bilang aku, nanti aku anterin kamu pulang." lanjut Gandi.
"Udah dong yah.. kak... Aku sekarang udah sampe rumah. Jadi gausah khawatir. Suka deh liat kalian kek gitu." kekeh Adrina tanpa penyesalan.
Adrina masuk ke kamar dan membilas tubuhnya. Adrina sangat lelah di hari yang menurutnya panjang.
Bersambung
***
Salam
Oneng dan Otong

KAMU SEDANG MEMBACA
Melancholy Miss
Teen FictionSuaranya tetap sama, sama sama sendu. Alunan nadanya beriringan dengan tetes hujan. Tenang namun menyakitkan. Ingat saat kita saling menggenggam erat jari jemari. Takut saling melepaskan. Kini hujan datang lagi. Memunculkan kembali kenangan yang ter...