Bagian Sembilan
Nyium kamu enak ya dari pada nyium aspal, sakit.
***Rambutnya basah berkeringat, seragamnya sudah keluar dari balik rok. Roknya terbang terbang karena berlari mengejar waktu. Adrina tak peduli dengan seragamnya. Yang terpenting pak satpam belum menutup gerbangnya.
"Awass!!"
Tiba tiba ada motor yang menyalip dengan cepat. Kaki Adrina tak seimbang dan ia jatuh. Kaki, tangan, dan dagunya mencium aspal. Perih ketika Adrina mencoba bangun.
"Oneng maafin gue." Ucap Dirga dengan wajah memelas. Jalan Adrina tersaruk saruk mencoba membuka gerbang yang tertutup rapat. Tiba tiba tubuhnya melemah jatuh tertunduk.
"Oneng, lo nggak papa kan?" Tanya Dirga mencoba menggetarkan bahu Adrina dengan wajah sedikit pucat.
"Dasar beruk lo!" Umpat Adrina kesal dengan tingkah Dirga. Jika ia bisa sedikit lebih cepat dan tak jatuh ia kini bisa duduk manis mengikuti pelajaran Biologi yang hanya penghias mimpi di pagi hari.
Dirga tak menanggapi Adrina. Ia hanya memperhatikan luka yang ada pada tubuh Adrina. "Tangan, kaki sama dagu lo lecet."
"Nggak usah sok perhatian!" Balas Adrina sekenanya. Ia tak pernah telat masuk sekolah. Namun hari ini kali pertama Adrina telat dan tak bisa masuk sekolah.
"Gue ngerasa bersalah, jadi wajar kalo gue perhatian." Dirga mencoba membantu Adrina berdiri namun tangannya ditampik begitu saja.
"Perhatian lo nggak bakal bisa buat gerbang itu ke buka!"
"Yaudah lah, libur sehari kenapa. Gak pernah kan bolos sekolah bareng cogan gini." Saat seperti ini, Dirga masih sempat membahas hal yang memuakkan.
"Terserah lo!"
"Gue anter pulang atau terserah lo mau kemana." Bujuk Dirga menatap punggung Adrina berjalan menjauhinya.
"Ga perlu."
"Ada pameran lukisan di balai kota. Kalo lo mau gue bakal temenin lo."
Langkah Adrina terhenti mendengar ucapan Dirga. Adrina sangat ingin melihat pameran itu, namun ia gengsi untuk menerima tawaran Dirga.
"Yakin nggak nyesel? Ini hari terakhir." Ucap Dirga dengan senyum liciknya.
"Brengsek ya lo!" Adrina memutar langkahnya menghampiri Dirga. Wajah dan tatapan sinis Adrina membuat Dirga bergidik ngeri.
"Mukanya biasa aja gausah nyaingin mbak kunti."
"Bawel, ayo jalan." Tepuk Adrina pada helm Dirga.
Segera Dirga menjalankan motornya. Ia berhenti disalah satu apotek untuk membeli obat merah. Dirga mencoba membersihkan dan mengobati luka Adrina. Dengan sengaja Dirga menekan bagian yang luka.
"Sakit bego!" Adrina meringis kesakitan.
Dirga menahan tawa melihat perubahan wajah Adrina. Dirga yang tak tau bagaimana menggunakan perban, ia mencoba memasang seenaknya.
"Nggak gitu caranya, Otong!"
"Ya gue bisanya gini, terus gimana? Apa mau pake sendiri?"
"Serah deh." Adrina pasrah dengan apa yang dilakukan Dirga.
"Dah jadi, ayo berdiri." Adrina diam tak beranjak dari tempat duduknya. "Kenapa masih diem? Ayo buruan."
"Masak mau ke pameran badan gue banyak perban gini. Gausah, pulang aja deh." Adrina menunduk menanggapi pertanyaan Dirga. Dirga membopong Adrina menuju motornya tanpa sepengetahuan Adrina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melancholy Miss
Teen FictionSuaranya tetap sama, sama sama sendu. Alunan nadanya beriringan dengan tetes hujan. Tenang namun menyakitkan. Ingat saat kita saling menggenggam erat jari jemari. Takut saling melepaskan. Kini hujan datang lagi. Memunculkan kembali kenangan yang ter...