08 :: KIM NAMJOON

125 29 6
                                    


03/01/18


"People said you're a damn trouble, I said, you're a miracle."

Sore itu awan kelabu menghiasi langit, disertai guntur serta kilat yang berulang kali muncul. Seharusnya aku pulang bersama Namjoon-terjebak dalam kemacetan kota, menikmati jagung atau ubi rebus sambil membicarakan hal banyak.

Nyatanya priaku itu sedang beristirahat di rumah. Demam yang menyerang sekembalinya ia dari London membuatnya tak sanggup bangkit dari tempat tidur. Sudah pasti kelelahan karena kurang istirahat selama mengurusi proyek besarnya.

Harumnya roti yang baru di panggang menguar dari sebuah toko yang kulewati. Berhasil menggoda siapapun yang lewat untuk mampir, termasuk aku. Namjoon boleh jadi sedang kelaparan di rumah, dan roti adalah pilihan yang bagus untuk mengganjal perut sebelum makan malam.

Setelah membeli sekantung roti beraneka rasa, aku melangkahkan kaki hingga tiba di depan rumah bercat putih dengan gaya vintage yang khas. Bongbong, anjing Labrador retriever yang sedang bermalas-malasan di teras menyongsongku dengan gonggongan nyaringnya.

Namjoon pasti mengeluarkannya karena tidak tahan dengan kelincahan Bongbong.

"Loh, sedang apa di dapur?"

Aku mengernyit heran ketika menemukan sosok berbalut sweater krem tebal serta celana training hijau sedang berdiri di pantry dapur. Ia terlihat begitu kaget ketika aku bersuara, dengan cepat menoleh dan menyembunyikan sesuatu di balik tubuhnya.

"Sudah pulang?" terbata Namjoon balik bertanya.

Gerak-geriknya terlihat mencurigakan, seperti anak kecil yang ketahuan mencuri pie dari dapur.

"Sudah, tadi naik bus."

Aku diam-diam mengulum senyum. Mengenal Namjoon hampir sepuluh tahun tentu membuatku tahu segala hal mengenai dirinya-termasuk gerak-gerik yang mencurigakan itu.

Sambil menenteng kantung roti aku berjalan ke sisi lain dapur. Namjoon masih menyembunyikan sesuatu di balik tangannya, bergerak mengikuti sudutku hingga aku tidak dapat melihat sesuatu apa itu. setelah meletakkan setumpuk roti pada sebuah wadah aku berbalik untuk menghampirinya.

"A...ada apa?"

Aku tersenyum. "Apa yang rusak, hmm?"

Di tanya begitu ia menghela nafas hingga bahunya turun, melemas. Tentunya tebakanku benar. "Kayaknya teman-temanku benar deh, soal aku yang jadi sumber masalah. I'm god of destruction. Iya, kan?"

Kulihat wajahnya berubah lesu. Bersamaan dengan itu Namjoon memperlihatkan sesuatu yang ia sembunyikan-sebuah tempat makan berwarna ungu yang tutupnya robek.

Namjoon memang sering sekali merusak barang-barang di sekitarnya. Entah sudah berapa banyak. Ia pernah berkata bahwa dirinya terkadang terlalu canggung hingga tidak sengaja merusak, dan aku tahu Namjoon membenci bagian dirinya yang itu.

"Teman-temanmu bilang begitu?" aku berjalan menghampirinya, tapi ia seakan mengelak.

"Kayaknya kamu harus jauh-jauh dari aku deh," katanya masih dengan wajah lesu.

"Kenapa? Takut aku terluka?"

Namjoon mengangguk pelan.

Alih-alih melakukan apa yang ia katakan, aku malah beringsut mendekat untuk kemudian memeluk tubuh jangkungnya yang masih terasa sangat hangat.

"People said you're a damn trouble, I said, you're a miracle," bisikku diantara kedua lengannya. "Kamu nggak akan nyakitin aku, Joon. Karena kamu satu-satunya obat yang aku punya di dunia ini. Jadi berhenti mikir macam-macam soal apa yang teman-temanmu bilang, okay?"

Bersamaan dengan kecupan di pucuk kepala, sebuah suara robek terdengar memenuhi ruangan. Pelukan terlepas.

"Apa yang robek?"

Namjoon memperlihatkan salah satu bagian sweaternya sambil meringis, "Sorry."

Melihat itu aku terkekeh, lantas mengusap rambutnya gemas. "I love you, purple man."

TRIVIA ○●Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang