Ini sudah yang ketiga kali.Sosok yang terbujur kaku di atas marmer abu di tengah-tengah gudang tua yang kosong itu telah membisu sejak enam jam yang lalu. Matanya melotot sempurna; bibirnya sedikit terbuka; ujung jari membiru; telungkup dengan lengan melipat dan jemari yang seolah menunjuk sesuatu. Rambut panjang kelamnya kotor terkena debu, mencuat ke sana ke mari dan menutupi beberapa bagian wajah. Kuku dari telunjuk kanannya terlepas entah kemana. Darah kering yang dihasilkan membentuk huruf-huruf abtrak, tersusun menjadi sebuah kata tak sempurna. Umu, serta sebuah garis panjang dan bengkokan di bagian atas sebelum nyawa sang korban benar-benar terangkat dari raga.
"Umum," Kim Seokjin menoleh. Lee Haru, salah satu rekannya sedang bersedekap sambil memperhatikan hasil temuan warga sekitar sejam yang lalu. "Kau pasti mengasumsikannya begitu, bukan?"
Ikut menatap ke arah yang sama, pria Kim itu sedikit memiringkan kepala. "Yah, meski belum tentu benar," responnya lantas membenarkan helai rambut yang jatuh menutupi pandangan. Ia berniat mencukur rambutnya pukul delapan pagi hari ini. Akan tetapi, panggilan darurat dari pekerjaan tersayang lebih dulu menyeretnya kemari, ke gudang tua dekat kawasan kumuh distrik 52 saat matahari bahkan baru saja muncul. Seokjin tidak kesal, sungguh. Alih-alih ia terheran-heran karena dugaannya atas pembunuhan berantai ternyata benar, dan kali ini ada sebuah petunjuk yang ditinggalkan korban meski samar.
Dua minggu yang lalu, seorang remaja laki-laki ditemukan tak bernyawa di depan sebuah toko parfume dengan mata melotot, mulut terbuka, dan ujung jari membiru. Seminggu setelahnya, seorang gadis ditemukan tak bernyawa dengan ciri yang sama. Lalu pagi ini.
"Tapi bukankah agak aneh bila yang satu ini meninggalkan pesan kematian?" Seokjin menggumam.
"Mungkin," Haru membalas tak acuh. "Daripada itu, aku lebih penasaran akan apa yang membuat ketiganya terbujur kaku seperti ini. Jelas bukan botulinum, sianida, juga arsenik. Aku sempat menduga ini tetrodotoxin karena perkiraan waktu kematian, tapi itu sepertinya hanya tebakan hoki yang tak hoki."
Alis lebat itu saling bertaut. Berdetik-detik keheningan mengisi selagi dua pria paruh baya itu bertengkar dengan benak; asumsi masing-masing. Beberapa petugas forensik yang dibawahi Lee Chan tampak mondar-mandir di sekitar untuk mempersiapkan beberapa hal. Ketika mentari meninggi dan kota mulai bangun guna memulai hari, beberapa warga di sekitar yang menyadari gerombolan polisi datang dan mengamankan lokasi mulai berdatangan dengan gurat penasaran. Berbisik-bisik menggunjingkan berbagai hal, mulai dari fakta hingga hayalan belaka.
Kim Seokjin sendiri merasa kepalanya seakan dihantam batu besarㅡsebuah gumpalan legam berupa memori acak yang membingungkan. Kemudian sekonyong-konyong deretan huruf dan angka itu mengalahkan segala isi benak sehingga menjadi satu-satunya penghuni yang tinggal.
"PL134340," cetusnya.
Lee Haru mendekat cepat. "Apa?" Tanyanya karena tak begitu menangkap.
"PL134340, pil pembunuh yang katanya sedang dikembangkan Tryptich," ulang Seokjin dengan informasi tambahan yang belakangan diketahuinya. "Ada yang bilang pil ini memiliki gejala mata melotot, mulut terbuka, serta ujung jari membiru, juga tak dapat di deteksi dalam tubuh."
"Aku sepertinya pernah mendengar pil itu," Haru mengangguk-angguk samar. "Mungkinkah?"
Dengan cepat Seokjin menyela, "Tapi PL134340 mendatangkan kematian setelah delapan jam," ditatapnya mayat yang sekelilingnya sedang dibuat garis putih oleh salah satu petugas. "sedangkan yang ini enam."
Peluangnya ada banyak, dan pesan kematian yang ditinggalkan kali ini turut andil untuk dikirkan matang-matang. Yang satu ini berbeda dengan dua kasus lain, dimana jalan buntu menjadi penutup hari. Pesan 'Umu' itu akan hadir di tengah-tengah udara, saat duduk diam menatap arunika, saat sarapan pagi, juga saat di perjalanan menuju kantor pusat seperti yang Seokjin rasakan sekarang.
Tak lama setelah PL134340 meluncur dari mulutnya, salah satu anggota di lokasi datang menghampiri sambil membawa informasi penting seperti "Detektif Kim, anda ditunggu di kantor pusat, Paradise." sehingga ia bergegas keluar dari gedung, melewati para rekan yang berjaga di pintu masuk serta warga sekitar yang tak kunjung pergi.
Tapi percayalah, surga yang di bicarakan Sung In amat sangat berbeda dengan surga yang di dambakan semua orang. Paradise yang terucap itu berarti ruangan bawah tanah yang terang benderang, dengan warna dasar coklat dan percakapan rahasia yang wajib dianggap tak ada.
Ada apa gerangan Paradise memanggilnya? Benar-benar tidak biasa.
Mengesampingkan gugup yang diam-diam menyelimuti, dilangkahkannya kaki menyusuri koridor panjang nan hening. Pasang-pasang mata dari para mantan detektif yang berjasa menjadi saksi atas sosok Kim Seokjin, pria lajang berumur 27 tahun yang rambutnya gondrong dan perut lapar akan mendengarkan sebuah rahasia lepas memasuki pintu coklat tua setelah belokan di ujung koridor. Saksi yang sama dengan Kim Namjoonㅡsi IQ 148ㅡyang ternyata sudah lebih dulu menunggu untuk masuk bersama.
Tak ada pertanyaan semacam "Kau diundang juga?" atau "Kira-kira apa yang akan disampaikan?" Sebab begitu masuk dan dipersilahkan duduk, sang bos besar di balik meja kayu jati segera melontarkan inti rahasia hari itu.
"Apapun kasus yang sedang kalian tangani sekarang, lupakan. Kalian akan dikirim ke Kota Trivia untuk mengusut penyelundupan Tryptich dengan satu nama sebagai kunci; Min Yoongi."
Kemudian Seokjin merasa epochㅡbagian dari hidupㅡnya yang satu ini tidak akan berjalan semulus itu.[]
Ini tuh ngasal banget aku gangerti soal perpolisian dan kedokteran juga perdetektifan(?) But
Bikin full ceritanya jangan?
KAMU SEDANG MEMBACA
TRIVIA ○●
FanfictionKumpulan jeritan tangan (draft) This used to be a part of Challange :: 25 Days of Flash Fiction