#6 [Kepingan Ingatan]

266 18 0
                                    

Malam tiba, Axelle tak bisa tidur. Ia tetap memikirkan apa yang dialaminya barusan.

"Ulang tahun ke-13!!"

"Kenapa pakai baju lima tahun lalu?"

"Jadi ingat ke Gunung Hijau!"

"Baru saja?"

***

"Ughh!!" gumam Axelle sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Ini ... mimpi, 'kan?" ia menghela napas.

Axelle merenungkan apa yang terjadi barusan (lagi) dan akhirnya, perutnya mulai berbicara.

Grooo.

"Hmph, aku lapar. Mungkin aku akan ke bawah sebentar."

Ia pun mulai membuka pintu kamarnya, berharap tak ada decitan yang membangunkan orang tuanya. Ia menutup pintu perlahan, lalu mengendap-endap dari satu anak tangga ke yang lainnya. Setelah tiba di lantai bawah, ia bergegas ke dapur. Tapi, di sana sudah tidak tersisa makanan.

"Argh, aku lapar sekali. Mungkin aku akan pergi ke luar untuk mencari makan."

Ia pun mengambil jaket, tas, ponsel, dan dompetnya yang ia simpan di kamarnya, lalu kembali mengendap-endap turun ke bawah. Ia memakai sepatunya lalu bergegas keluar rumah. Entah kenapa, Axelle berani pergi ke luar rumah sendirian di malam hari.

Axelle berjalan ke arah supermarket terdekat dengan perut keroncongan. Ia baru ingat kalau ada persediaan mie instan di rumah. Karena ia sudah dekat dengan tempat tujuannya, maka ia memilih untuk melanjutkan perjalanannya.

"Axelle," panggil seseorang.

"Hm?" refleks Axelle menengok ke sumber suara.

"Ingat aku? Lima tahun lalu. Ernestine Feourgra, di toko nasi goreng."

Perlahan namun pasti, Axelle ingat orang ini. "E-eh, tapi bagaimana Anda tau bahwa sayalah Axelle?"

Wanita itu terkekeh sebentar. "Matamu dan rambutmu, itulah yang kuingat. Warna matamu berbeda dengan orang-orang lokal. Rambutmu yang bergelombang mengingatkanku.

"Kau sudah remaja sekarang, sudah masa pubertas. Lama sekali sejak aku bertemu denganmu."

"O-oh, be-begitu ...," kata Axelle gelagapan. Lalu, perutnya mengingatkannya kembali.

"Hahaha, lapar?" tanya Ernestine.

"Ku-kurasa begitu." Axelle tersenyum kecut.
"Eh, pubertas?" batinnya.

"Ayo kita ke rumahku, kita akan makan malam."

"Dini hari, makan malam?!" tanya Axelle tak percaya.

"Iya. Sebenarnya, hanya kadang-kadang. Karena aku lapar walau sudah makan, tidak biasanya." Ernestine mengecek barang belanjaannya.

"Boleh saja. Lagipula, kau ibuku." Axelle tersenyum.

"Hah? Apa yang kau bilang tadi?" ucap Ernestine.

"Eh, bukan apa-apa," ujar Axelle.
"Kenapa aku mengatakan hal itu?" batinnya.

"Kalau begitu, ayo. Aku sudah membawa banyak bahan masakan."

"Baiklah."

***

"Selamat makan!" ujar Axelle.

"Selamat makan."

Axelle memasukkan sendok ke mulutnya. "Mmm! Enak!"

"Hee, syukurlah." Ernestine tersenyum.

"Tante, tinggal dengan siapa?"

"Sendirian," kata Ernestine.

"E-eh?! Sendirian?!" tanya Axelle.

"Ya. Suamiku, Vertz, bekerja jauh dari sini. Sedangkan anakku satu-satunya ...." Ernestine menghela napas sebentar. "Ia tak ingin bertemu denganku."

Axelle terdiam sebentar. "Lalu, apa pekerjaan suami-tante Ernest?"

"Dia ... sebagai ... ketua direktur."

"Wah! Keren!"

"Lebih keren lagi kalau kau bertemu dengannya."

"Lalu, apa yang tante lakukan di sini?"

"Mencari anak tante. Sekali tante lihat dia saat berusia 8 tahun. Oh ya, Axelle."

"Hm? Ada apa?" tanya Axelle.

"Kaulah anakku."

"E-eh?" tanya Axelle.

Samar-samar kepingan ingatan Axelle mulai terkumpul di pikirannya. Ia mulai ingat di warung nasi goreng dan barusan di jalan. Artinya, bisa jadi Ernestine benar-benar ibunya.

"Tapi ... tapi ... siapa ibuku, Clara Grasedinne?"

"Aku ... menitipkanmu padanya 13 tahun lalu bersama Vertz."

"Tapi, kenapa?" tanya Axelle berkaca-kaca.

Ernestine membuang mukanya. "Percuma kau mengetahui hal ini sekarang."

Axelle terdiam kesal. "Kalau begitu," ucapnya sembari melirik jendela, "kau bukan ibuku."

Ernestine kembali menatap Axelle. "Ta-tapi ...."

Axelle mendorong kursi yang ia duduki ke belakang lalu berdiri. "Terima kasih atas makan malamnya."

"Axelle!"

Axelle pun membuka pintu rumah Ernestine kemudian menutupnya lagi setelah ke luar rumah. Ia membuka gerbang halaman Ernestine lalu berlari tanpa arah. Tak sadar, air mata mengalir di pipi Axelle.

***

Queen of MermaidsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang