Part 3

288 34 0
                                    

SungRin pov.

Bosan. Itulah yang aku rasakan sejak pagi tadi. Di dalam ruangan serba putih, bau obat yang menyengat, dan sendirian. Yah, walaupun terkadang perawat masuk untuk mengecek atau memberikan makanan padaku. Tapi yang aku butuhkan saat ini adalah teman. Teman yang nyata, bukan gaib sepertinya.

Kim Yunjae, lelaki yang selalu menolongku dan perhatian padaku. Senang? Tentu saja aku senang. Aku sangat senang bisa berteman dengannya. Walaupun dia arwah, tapi aku senang bisa mengenal dan berteman dengannya. Tapi, bagaimanapun juga aku tetap membutuhkan sosok teman yang nyata.

Kini aku melihatnya sedang berbaring di sofa panjang dekat jendela. Matanya terpejam, menikmati panjangnya malam. Dan perasaan takut tiba-tiba menyerangku. Takut akan datangnya pagi dan aku akan sendiri. Aku benci fakta itu.

Air mataku jatuh begitu saja saat bibir Yunjae membuat lengkungan tipis. Jika saja dia masih hidup mungkin aku akan bahagia. Atau mungkin aku akan jatuh cinta padanya.

"Akh!"

Sontak matanya terbuka begitu mendengar suaraku. Sakit, itu lah yang aku rasakan. Kepalaku terasa berdenyut, hingga terasa seperti ingin pecah.

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Yunjae dengan wajah khawatirnya. Matanya terus saja bergerak meneliti tubuhku.

"Jaga matamu!"

Dia mencibir tidak suka. Aku tahu fikirnya tidak sekotor itu. Tapi tatapannya tadi sedikit berbeda, jadi aku tetap harus berjaga-jaga.

Kami terdiam satu sama lain. Dia pun sudah kembali duduk di sofa. Matanya terus menatap wajahku dan sesekali tersenyum. Dia aneh.

"Kau baik-baik saja?" senyumnya menghilang. Apa aku salah bicara?

Kepalanya menunduk dalam.

"SungRin." panggilnya, aku hanya berdehem.

"Apa kau akan melupakanku suatu saat nanti?"

Heol, apa katanya? Melupakannya? Bagaimana bisa aku lupa padanya, jika dia saja tidak pernah absen dalam hidupku.

Keningku berkerut. Ucapanya benar-benar aneh. Apa kepalanya baru saja terbentur tembok? Ah, molla.

"Berjanjilah untuk selalu tersenyum."

Aku benar-benar semakin tidak mengerti dengan ucapanya itu. Perlukah aku bantu untuk kembali membenturkan kepalanya lagi? Jika itu bisa mengembalikannya, aku tidak akan keberatan melakukan itu untuknya.

"Aku tidak akan melarangmu untuk menangis lagi."

Kepalanya masih saja menunduk, seakan-akan wajahku sudah membuat dirinya bosan.

"Tapi kau bilang, menangis akan membuatku terlihat lemah." Aku kembali mengingatkannya pada perkataanya beberapa bulan yang lalu. Saat dia selalu memarahiku saat melihatku menangis.

Kepalanya terangkat. Ujung bibirnya tertarik membuat sebuah lengkungan. "Aku lebih suka melihatmu menangis daripada melihatmu menyimpan dendam."

"Kau bilang aku akan telihat jelek jika terlalu banyak air mata yang membasahi pipiku. Kenapa kau jadi labil seperti ini?"

Rasa-rasanya aku benar-benar ingin meleparkan sesuatu pada kepalanya itu. Dulu saat aku masih sering menangis, dia selalu mengejekku. Dan sekarang? Dia mengatakan lebih suka melihatku menangis. Benar-benar arwah satu itu.

"Percayalah, akan ada seseorang yang datang dan akan menghapus air matamu." ia tersenyum lebar.

Aku hanya merotasikan kedua bola mataku. "Maksudnya kau?"

Senyumnya semakin lebar. Cahaya matahari mulai menyusup masuk kedalam ruang rawatku, membuatnya menghilang secara perlahan.

"Aku pergi."

Aku dengar dengan jelas. Sangat jelas. Walau ia mengucapkannya dengan lirih, tapi aku benar-benar mendengar itu.

Tak mau ambil pusing, aku kembali memejamkan mataku. Tidur, merupkan opsi yang paling bagus daripada memikirkan ucapnya yang membuat kepalaku terasa ingin pecah.

°•°•°

"Saranghae."





TBC

I'm comeback.....

Hi.

Bye.

Jan lupa vote dan comment nya. Tuh udah gua underline, jdi jan sampe lupa.

Tidak menerima jatah baca tanpa vote.

Maap klo masih banyak tipo, aku juga manusia.

Indigo [PJM]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang