Sudah sebulan ini aku mengenal Jungkook. Dia orang baik dan lembut. Dia juga orang yang lucu, tidak heran kalau nyawaku selalu terancam jika dia sedikit menjauh dariku.
Aku mulai terbisa dengan kehadirannya di sekitarku, kebiasaannya yang selalu mengikutiku kemanapun. Bahkan ia sampai mengikutiku ke toilet, yah walaupun hanya sampai luar saja.
Tapi, sudah dua minggu ini aku tidak melihat Yunjae. Aku bahkan sampai mencarinya di seluruh penjuru sekolah dan hasilnya masih sama sampai saat ini. Dia mengilang. Entah kemana perginya arwah satu itu. Ah, aku merindukannya. Sungguh.
Akhir-akhir ini aku tidak lagi melakukan piketku seorang diri. Walaupun dia tidak mambantuku, setidaknya aku ada yang menani. Itu sudah cukup bagiku. Apalagi kini ia tengah mengoceh kesal.
Aku bersumpah, ia benar-benar terlihat lucu. Apalagi saat pipinya terlihat menggembung. Sesekali aku terkekeh melihat kelakuannya. Dan setelahnya aku bisa mendengar dercakan sebal darinya.
"Kau masih bisa tertawa disaat semua melakukan seperti itu padamu?" aku rasa ia sedang kesal, kesal padaku tentunya.
Hal ini selalu terjadi, dia selalu marah ketika aku dengan begitu pasrah untuk melakukan piket seorang diri. Terkadang dia selalu membantuku, tapi untuk kali ini aku hanya memintanya untuk duduk diam. Ada rasa tidak enak sebenarnya, saat dia dengan suka rela menungguku dan mengantarku pulang. Padahal, jika kalian tau jarak rumah kami sangatlah jauh.
"Aku sudah terbiasa dengan semua ini."
Jungkook pun turun dari meja. Merampas sapu yang berada di tanganku dan melanjutkannya. Yah, walaupun dia hanya memasukan semua debu dan sampah kedalam serokan. Tapi setidaknya dia mengurangi sedikit bebanku. 'Terimakasi Jungkook-ah'
Setelah selesai dan membuangnya ke tempat sampah, dia pun berjalan ke arahku dengan tatapan kesal. "Lalu kau hanya diam saja?" Tanyanya dengan nada yang terdengar sangat kesal. Aku yakin, sapu yang ada di tangannya itu bisa saja melayang ke arahku kapanpun ia mau.
"Lalu aku harus bagaimana? Aku mana bisa melawan satu sekolahan ini." Ucapan itu keluar begitu saja. Sumpah demi apapun, aku benci menyatakan kebenaran itu. Rasa-rasanya lebih baik jika aku musnah dari dunia yang amat sangat kejam ini. Apa gunanya aku hidup, jika hanya seorang diri? Benar-benar tak berguna.
"Lebih baik kita pulang." Jungkook dengan cepat menarik tanganku. Meraih tasku dan memberikannya padaku. Genggaman tanganya semakin erat begitu dua orang siswa mendekat.
Keduanya tersenyum puas begitu aku dan Jungkook berada dihadapannya. Mereka bahkan menatapku dengan tatapan jijik.
"Apa kau ingin bermain dengannya?" tanya salah satu dari mereka.
"Seharusnya kau mengajak kami. Kami juga menginginkannya sejak dulu." Mataku memanas mendengar ucapan dua orang di hadapanku ini. Ingin rasanya aku menendang benda berharga milik mereka itu. Tidak perduli dengan masa depan mereka, mereka saja tidak perduli dengan masa depanku. Impas bukan?
Tangan Jungkook membawaku untuk mundur. Membuatku bersembunyi di balik pungungnya. Aku ingin menangis saat ini juga.
"Dia milikku dan tidak akan kubiarkan seseorang menyuntuh milikku!" Desis Jungkook. Aku sedikit menatapnya dari belakang dan melihat ada guratan kemarahan dari dalam dirinya. Apakah ini sungguh Jungkook?
Tangannya kembali membawaku untuk menjauh dari dua siswa mesum itu. Membawaku menuju halte dekat sekolah. Genggaman tangannya terlepas begitu saja. Tubuhnya berpindah kebelang tubuhku. Hingga aku dikejutkan dengan tangannya yang melingkar begitu saja di pingangku, merengkuhku dengan hangat. Aku menyukainya.
Tunggu. Tadi aku mengatakan apa? Menyukainya? Oh astaga, aku rasa itu memang benar adanya. Lagi pula siapa yang akan menolak dari pesona dan sikap manis dari seorang Jeon Jungkook? Aku rasa hanya para lelaki normal saja yang tidak menginginkannya.
"Mulai hari ini, jangan pernah jauh dariku oke." Ucap Jungkook tepat di telinga kananku.
"Mana bisa seperti itu?" Tanyaku yang membuat Jungkook semakin mengeratkan pelukannya.
"Tentu saja bisa."
"Tidak jung."
"Sayang." Panggilan itu keluar dengan lancarnya dari mulut Jungkook. Sudah sebulan ini dia menggodaku dengan memanggil sebutan itu. Dan kalian pasti tahu raeksi para gadis yang mendengar itu. Yups, mereka seakan ingin menelanku hidup-hidup.
Aku pun menutup telingaku dengan kedua tanganku. "Berhenti mengatakan itu, aku tidak ingin dengar."
"Owh... Kau lucu sekali sayang, ingin rasanya aku menyerangmu saat ini juga." Ucap Jungkook seraya membenamkan kepalanya pada ceruk leherku.
Dengan segera aku melepaskan pelukannya. Berusaha menghindari Jungkook yang terus saja menggodaku. Entahlah, dia senang sekali jika urusan ini. Seakan ada kebahagian tersendiri untukku. Eh, itu sih sudah pasti. Tapi aku merasa nyaman dengan semua sikapnya padaku. Sungguh.
"Byuntae!" aku memukul tangannya yang berada diatas perutku. Terus memukul hingga dia melepaskan pelukannya.
Jungkook terlihat mengusap punggung tangannya yang memerah. Padahal aku tidak begitu kencang memukulnya, tapi mengapa bisa semerah itu. Pasti terasa panas dan sakit. Maafkan aku Jungkook, ini juga karena dirimu sendiri kan? Coba saja kau tidak seperti itu. Pasti tanganmu tidak akan memerah seperti itu dan aku masih nyaman dengan pelukanmu.
"Aku normal." ucap Jungkook dengan bibir yang mengerucut lucu. Astaga, rasa-rasanya aku ingin menguncir bibir itu dengan kunciranku saat ini juga.
"Terserah." dengan segera aku pun menaiki bus yang akan membawaku pulang ke rumah.
"Hei, tunggu aku."
"Jauh-jauh dariku, kau menyeramkan." sejenak Jungkook terdiam, karena ucapanku tadi.
"Tampan seperti ini dibilang menyeramkan." aku masih dengar Jungkook. Kau memang tampan, ibumu sendiri pasti menyetujui itu.
Astaga, cobaan apa lagi ini. Bus nya benar-benar penuh. Dengan terpaksa aku harus berdiri. Posisiku dan Jungkook sedikit jauh, karena aku sedikit berada di belakang dan dia berada di posisi depan. Aku menatapnya dari sini, dia terlihat sedang menatap keluar jendela dan tak lama aku pun melakukan hal yang sama dengan nya.
Sedikit nyaman, namun aku masih merasakan lelah. Tunggu. Aku merasakan sesuatu yang aneh di bagian belakang tubuhku. Seperti ada sebuah tangan yang menyusap punggungku dibalik tas ku. Aku bisa melihat seorang laki-laki yang cukup tua tengah menatap kedepan. Sepertinya tidak ada yang sadar dengan kelakuannya ini.
Siapa pun tolong aku. Kenapa rasanya sulit sekali untuk berteriak bahwa orangtua itu cabul? Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Tangannya semakin berani turun dan menuju bokongku. Aku benar-benar terlecehkan saat ini.
Aku memejamkan mataku. Meremas tiang besi dengan kuat. Mengambil nafas, bersiap-siap untuk mengeluarkan suaraku dengan melengking. Tapi belum aku melakukan itu aku sudah mendengar suara yang begitu lembut, hingga tangan itu menjauh dari tubuhku. "Permisi, dia kekasihku."
Saat ini Jungkook berada tepat dibelakangku. Mengurungku dengan tangannya, seolah menjagaku dari gangguan tangan nakal seperti tadi.
"Jangan terlalu jauh dariku, oke." bisik Jungkook tepat di telinga kananku.
"Terimakasih Jungkook-ah." lirihku.
"Kau berhutang padaku nona." aku tahu itu Jungkook, bahkan hutangku padamu sangatlah banyak. Jadi bisakah kau tidak mengingatkan itu. Tanpa kau ingatkan aku sudah mencatat setiap hutangku padamu.
Mungkin suatu saat nanti, aku berani bertaruh nyawa demi membayar semua hutangku padamu Jungkook.
TBC
Akhirnya diriku bisa nulis chapter yang panjang lagi, setelah sekian lamanya /alaynya kumat/.
Btw, sejauh ini gimna? Iyh, udah gua tau abal-abal banget ini epep. Maklumin, masih dalam tahap belajar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo [PJM]
FanfictionApa kau pernah merasakan dibully dengan satu sekolahan? Itulah yang sedang dirasakan gadis indigo bernama SungRin. Tak heran jika ia lebih memilih berteman dengan arwah yang tidak bisa kembali ketubunya sendiri. Hingga ia bertemu dengan arwah yang m...