10.

2.3K 373 80
                                    

Fyi, mungkin beberapa chapter lagi ff ini bakal tamat ( ´ ▽ ' )ノ
.
.
.
.
Oke, langsung dibaca aja. Jangan lupa vommentnya, yap♡
.
.


Entah sudah berapa lama kedua manik sipit itu terus memandang ke arah luar jendela. Sejak butiran-butiran selembut kapas itu berlomba-lomba turun dari langit, hingga meninggalkan jejak berupa kumpulan salju seperti sekarang, manik tajam itu tak juga berpaling dari objek yang dilihatnya.

Jika dilihat berdasarkan perspektif orang lain, pasti akan mengira kalau laki-laki tampan berbalut jas abu-abu tua tersebut tengah memandangi sebuah gedung pencakar langit yang terlihat dari jendela ruang kerjanya. Padahal, laki-laki itu tidak sedang memandangi apapun. Ia hanya sedang bergulat dengan pikirannya yang tengah memikirkan suatu hal yang sangat penting.

"Sedang memikirkan sesuatu direkt----Oh, sorry, gue lupa kalo lo bukan direktur lagi, Niel. Hehe."

Daniel mengalihkan atensinya dengan memberikan sebuah tatapan sinis pada seseorang yang baru saja mengganggu acara---ayo berpikirnya itu.

"Lo lagi mikirin apa sih, Niel? Soal Guanlin yang kembali dapet jabatannya? Atau soal surat wasiat itu?" Donghan merenggangkan otot-otot tangannya, kemudian menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa---melupakan fakta bahwa ia sedang berada di ruang atasannya.

Daniel terdiam. Karena perkataan Donghan barusan, ia kembali teringat dengan ucapan sang ayah beberapa waktu lalu saat di rumah sakit.

Saat itu sang ayah mendatangkan seorang pengacara untuk membacakan wasiat yang telah dibuatnya beberapa bulan yang lalu. Tentu saja sang ayah juga mendatangkan Guanlin agar bisa ikut mendengarkannya.

Memang, yang kita tahu, Tuan Besar Lai itu membenci anak kandungnya sendiri, karena Guanlin yang kerap kali membuat ulah sampai puncaknya adalah kecelakaan beberapa tahun yang lalu.

Tapi, mana ada sih ayah yang membenci darah dagingnya sendiri? Semarah-marahnya Tuan Besar Lai pada Guanlin, beliau tidak akan sampai membenci anaknya sendiri. Apalagi menghapus nama sang anak dari daftar anggota keluarga, itu tidak akan terjadi. Karena, yah, Daniel tahu, kalau ayah tirinya itu mempunyai hati yang lembut, dan penuh kasih sayang. Tentunya segala ancaman yang diberikan pria paruh baya itu kepada Guanlin beberapa waktu lalu, hanyalah sebuah gertakan belaka.

Daniel memejamkan matanya. Urat-urat di sekitar tangannya pun terlihat seiring dirinya semakin menguatkan kepalan tangannya.

Bukan. Daniel bukannya kesal karena jabatannya diambil alih kembali oleh Guanlin. Ia bukan orang yang gila jabatan atau harta, tapi Daniel hanya merasa kesal setiap kali mengingat sang ayah yang begitu memprioritaskan Guanlin dibanding dirinya.

Ya, tentu saja Daniel tidak melupakan posisinya sebagai anak tiri.

"Bener, kan dugaan gue? Lo pasti kesel banget si Guanlin jadi direktur lagi. Apalagi dia nerima warisan yang jauh lebih banyak dari lo. Gila ya, gue nggak nyangka Presdir Lai sesayang itu sama Guanlin." Donghan kembali bersuara, tak peduli jika Daniel akan menanggapi ucapannya atau tidak, seraya mengganti-ganti channel televisi---mencari-cari acara yang tidak membosankan.

Iris coklat itu menatap lurus ke arah Donghan yang tengah--dengan tidak sopannya--menyalakan televisi seraya merebahkan tubuhnya di atas sofa.

Keningnya berkerut. Ia tengah memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menumpuk di pikirannya.

Unexpected ✔ || Panwink [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang