tiga

18 1 0
                                    


"Sibuk banget?" ucapku mengambil duduk disamping Angkasa. Ia tengah asik dengan novel yang sedari dulu tak kelar ia baca.

"Mumpung," jawabnya. "Oh," aku menganggukan kepala. Mungkin diantara kalian berpikir, Angkasa cuek banget sama istrinya. Iya memang, namun aku tetap mencintainya.

"Jangan diganti," katanya mengahlangiku yang hendak menganti saluran TV.

"Kamu mau baca novel, atau nonton berita?" Tanyaku, Angkasa masih memegang novelnya.

"Dua duanya,"

"Bagaimana bisa?"

"Bisa saja."

Baiklah, aku mengalah. Dia jarang menonton TV, namun sering keluar masuk masuk TV. Polisi ini bekerja drngan sangat baik.

"Iya deh, yang masuk TV," Ucapku, setelah melihat berita di TV.

Aku langsung memperhatikan dengan jeli berita tersebut. Lantaran satu hal, ada Angkasa disana. Ia terlihat hebat, mengalungi sebuah senjata yang aku tak tahu apa nama senjata itu, dibelakangnya berjejer para tersangka hasil tangkapannya, disampingnya ada Bang Tanto dan beberapa rekannya yang lain.

"Bos mereka belum tertangkap," katanya, ikut fokus menonton berita dan mengalihkan novelnya. Angkasa, kapan kau selesai membacanya?

"Siapa?" tanyaku,

"Namanya Reza, dia bandar paling dicari. Biangnya di negeri ini," aku menganggukan kepala, tentu tidak tahu Reza mana yang Angkasa maksud. Itu pekerjaannya yang melelahkan, terkadang aku berpikir bagaimana ia memikirkan taktik taktik untuk menagkap para tersangka? Hebat.

"Hei angin!" Angkasa memanggil ku tatkala aku berdiri hendak mengambil segelas air di dapur yang tak jauh dari tempat kami menonton TV bersama.

"Namaku Aira, bukan kah kau telah menyebutnya di ijab qobul?"

"Angin kan artinya?"

"Baiklah, kenapa?" aku kembali duduk selepas meneguk segelas air putih. Dahaga ini benar benar mengganggu.

"Mimpi mu?"

"Maksudnya?"

"Kau ingin berkeliling dunia kan? Mau kau wujudkan?" Ah polisi ini, bisa bisanya mengingat itu, kupikir ia telah lupa lantaran pekerjaannya yang menumpuk, ternyata masih peduli.

"Emm??" aku seraya berpikir. Mimpiku apa kabar ya? Lama aku tak berangan angan lagi.

"Kalau mau kau wujudkan, silahkan. Aku tak menghalangi, hanya saja jaga kesehatan dan keselamatanmu," ujarnya, setiap ucapannya membuatku merasa tenang.

"Pergilah keluar rumah, ketika aku pergi bekerja. Aku yakin kau sangat mengimpikannya," ditengah tengah aku berpikir keras, tangan kasar nya memegang punggung tangaku, menyatukannya. Aku tak ingin melepas. Astaga, Angkasa benar benar membuatku bersyukur memlikinya.

"Berarti kalau kau dirumah aku tidak boleh pergi?" tanyaku.

"Kalau aku dirumah, kau harus pergi denganku." ia tersenyum.

PATRONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang