i

26 0 0
                                    

Waktu berjalan dengan cepat, bagai sutradara mengatur satu adegan demi adegan dengan kilat. Tanpa berpikir perihal takdir buruk yang menimpa tokoh utama, karena itu bukan prakara sang waktu ataupun sutradara, itu perihal tokoh utama dengan takdirnya.

"One americano," ujar seorang wanita pada seorang pelayan disalah satu kafe langganannya.

Semerbab kopi americano sangat lengkap menemani pagi harinya yang buta dalam segal hal, pahitnya kopi itu berusaha mengingatkannnya pada satu peristiwa yang buram adanya, dentingan sendok pada gelas menyeruakan betapa nyaringnya hidup seorang diri di akhir hayatnya di dunia.

Wanita itu duduk disalah satu kursi tak jauh dari jendela besar yang membentengi aroma khas kopi ala america, ia kembali melihat sebuah buku kecil yang beberapa hari yang lalu telah terisi dengan kebiasaan kebiasaannya yang ia lakukan.

Pelayan itu datang kembali, memberikan piring berhias macaron dengan warna yang menarik. Hatinya benar benar bersedih, lantaran wanita itu tak lagi mengenalnya, tak dapat bercakap ataupun bersenda gurau dengan nya. Seperti terakhir kali mereka bertemu.

"Dara," ujar wanita beberapa saat kemudian, tatkala pelayan hendak kembali pada tempatnya.  Kedua mata mereka saling bertatap di udara, beberapa ingatan kembali walau sedikit buram dan tak jeas. "Maaf,"

"Tak apa Aira,"

Pelayan dengan name tag Dara itu lekas memeluk Aira, paham dengan kondisi teman yang dulu ia temukan sedang bingung jalan pulang.

Banyak yang berubah dari Aira. Wanita itu cenderung murung merintih penyakit yang mendatanginya sewaktu waktu, tak hanya dirinya yang tersakiti terkadang orang orang di sekitarnya juga merasa begitu. Terutama Dara. Aira adalah teman pertamanya yang ia rasa sebagai rumah yang di rindukan.

Berbagai sejarah yang sudah terangkai rapi kembali terurai perlahan. Tinggal menunggu sang waktu yang akan menentukan.

"Excuse me?" seseorang datang dari balik pintu kafe, harum minyak wangi vanila menyeruak masuk kedalam hidung Aira dan Dara yang tengah mengobrol tentang rencana Dara menemani Aira cek up besok.

Dara kini berdiri dari duduknya, dipandanginya pengunjung itu yang tengah berdiri mematung disamping tempat Aira duduk. Matanya lekat pada rambut panjang yang terurai milik temannya, seraya ingin bertanya namun takut untuk berucap.

"Aira?" ujar pengunjung itu, Aira lantas memutar tubuhnya seraya bertanya siapa yang memanggil namanya.

"Ghista Aira Rahma?" pengunjung itu menyebut nama lengkap Aira dengan jelas, Aira kemudian mengangguk mantap.

"Syukurlah!" pengunjung itu menggebu gebu melihat jawaban Aira, bagai menemukan harta karun yang menyembunyikan berlian melimpah.

"Maaf, siapa ya?" Aira sedikit tidak nyaman dengan pengunjung yang tiba tiba memluknya itu.

"Aku Resti!" jawabnya bersemangat.

Dara menegadahkan kepalanya, buru buru menarik pengunjung yang bernama Resti itu keluar dari kafe, sudah lama ia ingin bertemu dengan seseorang yang mengenal Aira dari nusantara sana.

Setelah dirasa sudah jauh dari Aira, Dara mulai angkat bicara. Pelan pelan Dara bercerita kepada Resti perihal dia berkenalan dengan Aira.

Kejadian itu sudah 6 bulan yang lalu, dimana ia menemukan Aira mengunjungi kafe dan bercerita perihal Aira, Angkasa, dan Resti di depan kamera kemudian ia menemukan Aira kebingungan jalan pulang, alhasil lantaran letak apartemenen perempuan itu tak jauh dari tempat Dara tinggal, Dara pun mengantar Aira pulang dengan suka hati. Berkat itu Aira sering berkunjung ke kafe dan mengobrol dengan Dara, sampai suatu hari, Aira lupa dengan Dara ketika wanita berumur 20 tahuann itu menyapa Aira, semakin hari semakin menganjal, dan Aira pingsan di kafe, Dara pun lekas membawa Aira ke rumah sakit terdekat. Sontak mendengar pernyataan seorang dokter yang mendiagnosa Aira terkena Alzheimer Dara sangat terpukul. Aira tak bercerita apapun tentang penyakit itu pada Dara. Setelah Aira siuman, syukur ia mengenali Dara, dan mengatakan tentang penyakitnya itu. Sempat Dara bertanya pada Aira kenapa ia malah pergi meninggalkan Angkasa, Aira berkata bahwa ia tak ingin Angkasa melihatnya melupakan sejarah yang sudah mereka rangkai bersama.

Mendengar cerita panjang Dara membuat lutut Resti tak kuat lagi berdiri menopag raga nya. Wanita itu terjatuh di atas kursi taman sambil menangis, ia ingat sebuah surat yang ditujukan pada Angkasa namun sempat mampir di tangannya, didalam surat itu hanya bertuliskan, Angkasa menikahlah dengan Resti, berbahagialah. Tak ada kata kata lain perihal kemana dan kenapa ia pergi.

"Lalu, apa kalian sudah menikah?" Dara menepuk bahu Resti yang masih menangis tersedu sedu.

"Tidaklah!" ujarnya tegas, "memang aku masih menaruh hati pada Angkasa, namun Angkas menginginkan Aira. Ia sampai mencari istrinya itu setengah mati, bahkan ia tidak peduli dengan pekerjaannya," wanita itu kembali terisak tangis.

"Apa Aira masih ingat Angkasa?" tanya Resti.

"Sedikit. Tapi aku tidak tahu kalau besok."

"Maksudnya?"

"Aku tidak tahu apakah besok ia masih mengingat Angkasa atau tidak sama sekali," kata Dara dengan putus asa.

PATRONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang