4. Banyak Sahabat

33 13 0
                                    

      Mungkin tak tahan dengan cibiran murid lainnya, seminggu kemudian Vania dikabarkan pindah sekolah.
Tersisa Zifa dan Keshya, teman akrab Vania dulu.

----------

"Kepala harus dalam posisi tegak dengan pandangan fokus ke depan. Jangan terlalu fokus kepada bola, namun lihat lapangan dan pemain lawan. Rentangkan lengan dan gerakkan pergelangan tangan untuk memantulkan bola ke lantai. Saat memantulkan bola, gunakan jari untuk mengontrol bola."
Pak Beni, guru olahraga menjelaskan cara dribble bola basket sambil mencontohkan.

       Situasi di lapangan olahraga sekolah tampak ramai, barisan murid-murid kelas VIII-A yang tengah mengikuti pelajaran olahraga sibuk memperhatikan penjelasan dari Pak Beni.
Tidak semuanya memperhatikan, ada juga yang sibuk mengobrol dengan temannya, menjahili satu sama lain, mengamati keadaan sekitar atau melamunkan sesuatu. Seperti halnya Cassa, ia melihat ke arah bola basket, tapi pikirannya entah di mana.

"Dor! Kok ngelamun? Mikirin apa hayo." Silvi mengagetkan Cassa tiba-tiba.

Cassa tersentak, kedua bahunya terangkat, "Silviii... Aku jadi kaget."

"Lagian, kok nggak serius gitu merhatiinnya? Emang mikirin apa?" celetuk Silvi.

"Aku takut, aku nggak bisa main basket." Cassa menundukkan kepalanya.

"Nggak apa-apa, dicoba dulu aja. Gimanapun hasilnya itu urusan nanti, yang penting kamu udah nyoba." ucap Silvi seraya merangkul pundak Cassa.

Cassa hanya mengangguk, hati dan pikirannya masih berantakan. Terutama saat Pak Beni bilang semua murid harus mencoba, untuk pengambilan nilai.

"Adelia Liony Cassabella."

      Tibalah giliran Cassa dipanggil ke depan, untuk praktek dribble bola basket.
Dirinya gemetar tak karuan, keringat dingin mengucur dari dahinya, napasnya seakan tertahan. Ditengah kepanikan Cassa, ia tetap mencoba sebisa mungkin.

Bola basket baru saja memantul di hadapannya, tapi malah menggelinding melewati sela kaki Cassa yang renggang. Cassa pun mengejar bola tersebut, setelah berhasil menangkapnya, ia mencoba Lagi. Kejadian itu terulang kembali, kali ini bola basket tersebut menggelinding menuju ke koridor, Cassa segera mengejarnya.

"Ini mah bukan praktek dribble bola, tapi praktek ngejar bola."

"Aneh banget, disuruh dribble malah lari-larian ngejar bola."

"Caranya aja salah, pantesan bolanya kabur mulu."

Berbagai ejekan disertai tertawaan terdengar, murid lainnya membicarakan Cassa.

Akhirnya, Cassa mendapatkan nilai terendah di kelasnya.

       Pelajaran olahraga telah berlalu, mereka diberi waktu 30 menit untuk beristirahat dan berganti seragam.

Sementara itu, Cassa duduk di koridor, air mata turun membasahi wajahnya, bibirnya bergetar berusaha menahan agar isakkan tidak keluar dari mulutnya.
Silvi ada samping Cassa, menemaninya mengungkapkan kesedihan, tanpa ada sepatah kata pun yang keluar.

Keheningan sirna, saat Cassa mulai berbicara, "Kenapa sih yang lain bisa, kok aku nggak bisa? Padahal aku udah ikutin caranya. Waktu main bulu tangkis aku nggak bisa, basket juga nggak bisa. Aku emang nggak bisa apa-apa."

Dengan tenang, Silvi membalas keluhan Cassa, "Yang penting kamu udah berusaha. Kamu nggak boleh ngerendahin diri kamu sendiri gitu. Harus yakin, kamu pasti bisa."

"Udah... aku udah yakin tapi kenapa masih nggak bisa?" keluh Cassa.

"Mungkin memang kelemahan kamu dibidang olahraga. Setiap manusia itu punya kekurangan dan kelebihan. Kamu harus percaya, suatu saat pasti kamu akan nemuin kelebihan kamu."

"Hmm... tapi aku selalu takut buat nyoba. Gimana aku bisa tau kelebihan aku?" balas Cassa.

"Nggak perlu buat nyoba hal baru. Aku yakin, kamu berani lawan ketakutan kamu. Inget, when you believe you can do anything."

Senyum terukir di wajah Cassa, ia sudah kembali ceria berkat Silvi.

"Sa, itu ada tukang es krim, kita beli yuk." ajak Silvi, ia menarik tangan Cassa.

Cassa hanya mengangguk dan mengikuti langkah sahabatnya.

       Ice cream rasa vanila kini ada di genggaman Cassa, dan ice cream rasa cokelat di genggaman Silvi. Mereka berdua menyantap ice cream tersebut diiringi candaan sesekali.

"Cassa, maaf ya selama ini kita udah jahat sama kamu." Tiba-tiba Zifa menghampiri mereka berdua dan meminta maaf.
Silvi dan Cassa hanya menatap heran, seakan tak percaya dengan apa yang ada dihadapannya.

"Kalian mau kan maafin kita? Kita bingung, Vania udah pindah, kalo kita sahabatan cuma berdua aja nggak seru. Kita kesepian." Keshya menambahkan perkataan Zifa.

"Kok tiba-tiba minta maaf? Ada maksud apa nih?" balas Silvi yang masih heran.

"Jujur, nggak ada maksud apa-apa kok. Selama ini kita jahat karena disuruh Vania aja, kita nyesel dan kita mau berubah jadi temen yang baik. Kalian mau nggak bantu kita? Ajarin kita supaya bisa berubah." jelas Zifa.

"Aku iri sama persahabatan kalian, aku juga mau jadi sahabat kalian. Boleh nggak kita gabung sama kalian berdua?" sambung Keshya.

"Kita janji nggak akan ngecewain kalian." tambah Zifa.

"Setiap orang pasti punya kesalahan, tapi nggak setiap orang mau berubah. Kalian keren udah berusaha mau berubah jadi lebih baik. Tapi, aku tergantung Cassa mau maafin atau enggak." ujar Silvi.

Cassa mengganguk, "Aku mau kok maafin kalian, aku percaya kalian bisa berubah lebih baik. Aku juga seneng kalo ada yang mau jadi sahabat aku." Sebuah senyuman manis muncul di wajahnya, memperlihatkan lesung pipinya.

"Asik, jadi kita dimaafin. Sekarang kita sahabat kan?" Keshya melompat kegirangan.

Silvi dan Cassa mengganguk bersamaan.

"Makasih ya udah mau nerima kita. Istirahat ke-dua nanti aku traktir di kantin deh." Zifa berkata demikian.

"Sekarang masuk kelas dulu yuk, udah mau masuk pelajaran matematika." seru Silvi mengingatkan.

Mereka berjalan bersama menuju kelas.

Silvi berbisik, "Tuh kan bener Sa, kalo kamu yakin pasti mereka bisa baik sama kamu, buktinya sekarang mereka jadi sahabat kamu."

"Iya deh aku percaya." balas Cassa.

Cassa dan Silvi senang, karena sahabat mereka bertambah.

Tiga bulan lamanya mereka berempat menjalin hubungan persahabatan, tanpa ada pertengkaran. Selalu diiringi kebahagiaan.

     

When You BelieveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang