BAB 3 - BROKEN HEART

7.6K 503 279
                                    



Toskana, Italia, 18 tahun lalu.

Musim dingin yang membekukan. Salju telah turun sejak semalam. Warna putihnya menutup hampir seluruh halaman depan sebuah sekolah musik di Toskana, Italia. Tak jauh, terdapat sebuah aula besar yang akan digunakan untuk acara beberapa menit lagi. Riuh-rendah obrolan bersahutan dari dalam sana.

Wajah penuh kegembiraan berlalu lalang. Bocah-bocah berusia 9-10 tahunan asyik bermain lempar bola saju. Gelak tawa membaur di udara, menghangatkan hati. Mereka seakan lupa, bahwa beberapa saat lagi acara perpisahan bagi murid tingkat akhir akan segera dimulai.

Tawa kembali berderai dari bocah laki-laki yang sedang menggenggam gumpalan salju di tangan. Dia Sean, bersiap melempar bola salju pada seorang teman yang berdiri beberapa langkah di depannya.

Namun, suara decitan dan hantaman benda keras memenuhi udara, menghentikan seluruh kegiatan, meluruhkan semua tawa. Bola salju dalam genggaman meluncur ke tanah. Kaki-kaki berlari, berderap menuju sumber suara.

Aula yang semula riuh mendadak kosong. Halaman bersalju seketika sepi. Massa terkumpul di satu titik, beberapa meter dari sumber suara. Sean termasuk salah satunya.

Sean berdiri di barisan paling depan, tertegun menyaksikan pemandangan mengerikan tepat di depan mata. Mobil berwarna silver itu hancur, nyaris tak berbentuk. Keempat rodanya menghadap angkasa. Asap mengepul. Kaca-kaca terhambur di jalanan. Gelenyar aneh mendadak hadir di hati. Napasnya seketika sesak.

Dengan langkah yang dipaksakan, Sean mendekat, bersama beberapa guru dan wali murid lain. Kakinya mendadak berat ketika melihat seseorang yang berada di bangku samping pengemudi. Wanita, dengan posisi tertahan sabuk pengaman, kepala berada di bawah.

"Mom." Awalnya, masih enggan percaya, bibir Sean menyebut sosok di dalam mobil. Namun, gelombang kepanikan seketika menghantam, menyadarkan, membuatnya berteriak histeris, menghambur menuju bangkai mobil.

"MOM! MOM! PLEASE!! WAKE UP, MOM!"

Teriakan Sean membangunkan kesenyapan. Mendadak, keriuhan terjadi. Ingar-bingar kepanikan terdengar. Para guru berusaha membubarkan kerumunan, sedang yang lain segera mencari bantuan, menghubungi pihak berwenang.

Namun, semua hal itu tak berpengaruh bagi Sean. Tanpa perlu berpikir, ia berlari menuju bangkai mobil, merangkak, menelungkupkan tubuh di atas aspal, berusaha menyejajarkan badan dengan posisi ibunya. Ia bahkan tak lagi peduli ketika serpihan beling menggores lengan dan telapak tangan. Perih tak lagi terasa. "HELP! HELP! MOM!" teriak Sean kesetanan.

Tangannya terulur melewati bingkai jendela, tanpa sadar mengenai pecahan kaca yang masih tersisa, menyobek telapak, darah mengalir, membasahi pergelangan jaket putihnya. Seakan tak bisa lagi merasakan sakit, ia berusaha mengguncang tubuh ibunya yang terdiam. Matanya sekilas memandang ayahnya yang berada di kursi pengemudi. Sama seperti ibunya yang tak lagi bergerak.

Hingga beberapa saat kemudian, ia meronta dengan kaki menjejak saat seseorang mengangkat tubuhnya, membawa menjauh dari bangkai mobil. Telinganya benar-benar telah tuli, hingga tak mendengar raungan ambulans dan mobil polisi yang mulai berdatangan.

"Tenang, Sean. Mereka sedang berusaha menyelamatkan orang tuamu," lirih salah satu guru yang masih mencengkeram bahu Sean. Mereka menahannya sembari menyaksikan proses evakuasi.

"Mom!!!" teriak Sean histeris. Air mata membanjir ketika melihat darah yang menggenang di samping mobil mulai mewarnai jalan.

Petugas medis berusaha mengeluarkan tubuh ibunya yang berada di kursi penumpang. Sean terus memanggil lirih, bibirnya tak henti menguntai doa, berharap ibunya selamat. Hingga beberapa saat kemudian, petugas berhasil meletakkan tubuh ibunya di atas tandu.

Kiss The Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang