BAB 18 - WHAT A FEELING

3.6K 278 118
                                    

*Playlist: What a Feeling, One Direction.*
Putar playlist sambil baca, ya.
*

Senja baru saja berakhir, cahaya keemasannya lindap ditelan kegelapan malam. Pengunjung yang menikmati nuansa langit oranye di Jardin de Tuileries perlahan mulai surut, berganti wajah-wajah lain yang mulai menyemut di taman terbesar di Paris. Sean termasuk salah satunya. Tubuhnya terpaku di kursi samping kolam besar. Sejak senja masih merona hingga gelap malam mulai menyapa, ia tak beranjak.

La Grande Roue berputar pelan di kejauhan. Mata Sean memandang lekat bianglala raksasa yang dipenuhi kerlip lampu di setiap sisinya, membentuk lingkaran penuh. Seandainya saja hidupnya bisa sesempurna lingkaran bianglala, tapi nyatanya, beberapa saat lalu ia justru membuat kehidupannya semakin kacau dengan bertindak bodoh.

Sean menghela napas lelah, menenggelamkan wajah pada kedua telapak tangan. Semua emosi yang menggumpal di kepala karena melihat Kinan dan si pirang, sudah lenyap sejak beberapa saat lalu. Semilir angin malam menjernihkan pikirannya. Menimbulkan beragam asumsi dan sebuah penyesalan. Serta perasaan bersalah yang cukup besar pada Edward dan Kinan.

**

"Kakak Sean!" Teriakan dari suara yang sangat familier, membuat Sean batal melangkah ke meja Kinan. Ia menoleh, melihat Edward yang berlari ke arahnya. Pipi gembil bocah itu bergerak naik turun seiring dengan gerakan kaki, bibir mungilnya mengulas senyum lebar.

Karena teriakan Edward, semua mata tertuju padanya, termasuk Kinan. Gadis itu berdiri dari kursinya, tersenyum dan melambaikan tangan. Seakan tak peduli, Sean hanya memandang sekilas kemudian membuang muka, lantas menekuk lutut, menyejajarkan tubuh dengan tinggi Ed. Sudut bibirnya terangkat, memaksakan seulas senyum tipis. Emosinya sedikit mereda saat memandang wajah menggemaskan bocah kecil itu.

"Bonjour, Ed."

"Bonjour, merci beacoup, Aku suka sekali cokelatnya, sangat enak," celoteh Ed. "Kata Momma, itu cokelat buatan Kakak sendiri. Benarkah?"

Gelengan pelan dari Sean menjadi jawabannya. Ia berusaha menekan emosi yang menumpuk dengan menarik napas lalu berujar, "Bukan, para pegawai di pabrik cokelat yang membuatnya."

"Milik kakak?"

Sean mengangguk.

"Oh ya, setiap hari, aku ingin sekali bertemu kakak Sean. Aku ingin bermain piano bersama lagi. Kakak mau menemaniku bermain piano?" Bulu mata lentik Ed bergerak-gerak saat mengerjap, wajahnya berharap. Dengan ekspresi selucu itu, siapa pun pasti tak akan sanggup menolak permintaannya, meski itu adalah pria sekaku Sean.

"Baiklah. Ayo!" Sean mengikuti langkah cepat Ed menuju grand piano di bagian tangah kafe.

"Kakak, ayo mainkan sebuah lagu untukku. Lagu apa pun." Ed memecah keheningan saat melihat pria itu hanya diam sambil menekuri deretan tuts di hadapannya.

Perlahan, Sean meletakkan kesepuluh jemarinya di barisan hitam putih. Dari sudut mata, ia sempat melihat Kinan yang sekarang hanya diam menyaksikan. Mungkin gadis itu marah karena Sean tak mengacuhkannya tadi.

Marah? Tidak seharusnya gadis itu marah. Yang seharusnya marah itu Sean. Bagaimana mungkin Kinan bisa mengajak orang lain saat mereka sudah membuat janji bertemu? Haruskah ia menegaskan hanya ingin bertemu berdua saja?

Astaga ... memikirkannya saja rasanya sangat menyebalkan.

Sean mulai melarikan jemari di atas tuts. Lagu "Twinkle-twinkle little star" mengalun memenuhi ruangan kafe. Musik yang seharusnya bernada ceria terdengar kacau, karena sang pianis menekan tuts tanpa ampun, meluapkan semua emosi yang tersimpan sejak tadi.

Kiss The Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang