BAB 10 - REMEMBER

4.7K 354 156
                                    

Sean! Tunggu!"

Sebuah panggilan memaksa Sean dan Jhon menghentikan langkah di lobi Paris Philharmonie, tempat konser amal yang ia ikuti beberapa saat lagi. Ia menoleh, melihat sosok yang memanggilnya berjalan mendekat.

Ekspresi Sean semakin datar saat tahu siapa yang menyerukan namanya. Erika, gadis yang tak henti mengusiknya.

"Ini untukmu," kata Erika sambil menyerahkan sebuah kotak kado selebar telapak tangan.

Sean menerima pemberian Erika, membuat perempuan itu tersenyum ceria. "Buang!" perintah Sean sembari mengulurkan kotak pada Jhon.

Manajer itu memelotot, tapi tetap mengulurkan tangan, menerima kotak dari Sean. Sedangkan lengkungan bibir Erika seketika surut.

"Attendre!" Erika menahan ketika Sean beranjak. "Kita harus bicara, Sean."

"Tak ada yang pelu dibicarakan."

"Sebentar saja. Aku ingin membicarakan sesuatu di antara kita."

"Tidak ada apa pun di antara kita."

"Tapi .... "

Sean mengibaskan tangan dan berlalu menuju ke belakang panggung, meninggalkan Erika yang sekarang mengerang kesal.

Setelah Sean menghilang di belokan lorong, Erika mengalihkan pandangan pada Jhon yang ternyata sibuk membuka kotak di tangan. Mereka saling pandang beberapa saat, hingga manajer itu beranjak, berdiri di sisi Erika.

“Segera ambil keputusan, Nona. Lebih cepat lebih baik.” Jhon mengeluarkan dasi dari dalam kotak pemberian Erika. “Aku sangat yakin, kau tak akan bisa mendapatkannya. Jadi, hancurkan saja dia?”

Tanpa menunggu jawaban perempuan cantik itu, Jhon berlalu ke belakang panggung.

*

"Gadis itu sepertinya mengagumi Christian Grey." Jhon mematut diri di depan cermin, mencoba dasi baru pemberian Erika. Ia berdiri di samping Sean yang sudah dikerumuni penata rias dan rambut. Beberapa musisi lain juga berada depan cermin lebar di kanan kirinya.

Sean melirik sekilas pada Jhon lalu berujar datar, "Siapa si Grey? Pianis? Musisi?"

"Kau tidak tahu siapa dia?" Jhon memutar mata. "Dia aktor film Fifty Shades yang terkenal itu."

"Aku tidak suka menonton film."

"Ya, ya, sebaiknya kau tidak usah melihat filmnya, agar pikiranmu tetap bersih." Mengabaikan sorot bertanya dari mata Sean, sambil melepas dasi, Jhon lalu bertanya, "Malam ini kau akan memainkan lagu apa?"

"La Campanella."

"Gubahan Franz Liszt?"

Sean mengangguk sekilas sebagai jawaban.

"Baiklah, aku yakin kau bisa membawakan dengan sangat baik. Lima menit lagi on stage."

Saat penata rias dan rambut mulai undur diri, Sean bangkit, memandang cermin sambil sedikit merapikan jasnya. Tampak elegan dengan balutan syal tipis di leher. Rambutnya dibuat berantakan, tidak terlalu formal. Senyum tipis terukir di bibirnya. Dia suka penampilan simpel ini.

Jhon berdiri di sebelahnya, mengulurkan dasi pemberian Erika. "Coba ganti syal itu dengan dasi ini. Siapa tahu bisa membuatmu terlihat lebih keren."

Tanpa perlu mempertimbangkan usulan Jhon, sambil menghela napas sebal, Sean berlalu begitu saja saat pembawa acara memanggil namanya, mengabaikan tawa manajernya yang bergema di ruang ganti.

Dengan langkah elegan, dia berjalan ke atas panggung. Gemuruh tepuk tangan dari ribuan penonton menyambut. Bidikan kamera dari puluhan awak media menyerbu, mengabadikan setiap geraknya. Sean duduk di depan grand piano hitam mengilap yang terlihat sedingin ekspresi wajahnya. Cahaya keemasan menyorot dari atas. Menjadikan sosoknya sebagai fokus.

Pria itu memejamkan mata sejenak. Merasakan keheningan yang mulai menyelimuti aula berkapasitas dua ribu orang. Tanpa ragu, Sean meletakkan kesepuluh jemarinya di atas tuts. Namun, sekelebat ingatan membuatnya seketika berubah pikiran, memutuskan mengganti lagu La Campanella.

Sean membuka mata, menarik napas panjang ketika jantungnya mendadak bergemuruh. Seraut wajah cantik dengan senyum tulus beberapa hari lalu tiba-tiba memenuhi pikiran. Roman seorang gadis yang menghangatkan hatinya saat hujan.
Satu sentuhan ringan di atas tuts, disusul nada lain yang perlahan mengikuti. Ribuan penonton terkesiap ketika mengenali lagu yang dimainkan Sean.

Dengan sangat tenang, pianis itu membelai deret hitam putih. Remember gubahan Yiruma mengalun indah. Beberapa kali Sean menambahkan improvisasi pada musik bernuansa romantis tersebut. Denting jernih mengiringi ekspresi lembut yang terpancar dari wajah Sean.

Dengan mata terpejam, ia mengulas senyum samar, mencoba mematri lengkungan bibir Kinan dalam hatinya. Napas seluruh pengunjung seketika tertahan, saat wajah pualam sang pianis ditampilkan secara penuh di layar besar. Close up.

Ada rasa hangat yang menelusup dalam kalbu seluruh penonton, karena Sean juga merasakan hal yang sama. Hanya beberapa detik, tapi hal itu cukup membuat semua orang tersentuh. Hingga kemudian raut dingin kembali menyelimuti wajahnya. Ia teringat kegelisahan yang selalu muncul tiba-tiba.

Pria itu membuka mata, kembali fokus pada permainan, masih membelai jajaran tuts. Tak berapa lama, sekerlip cahaya kecil dari ponsel muncul di antara deretan kursi penonton yang terlihat sangat gelap. Hingga perlahan muncul titik cahaya lain yang hadir bersama dengan denting yang terus mengalun. Satu, dua, tiga, sepuluh, seratus, hingga tak terhitung.

Tanpa menghentikan permainan, Sean mengamati semua, merekam dalam memorinya. Betapa ia tak akan pernah bisa melupakan kejadian malam ini. Untuk pertama kali ia bermain piano tak hanya menghafal, membiarkan perasaan mengambil alih, tanpa menahan apa pun yang ia rasakan. Dan respons penonton sungguh di luar dugaan. Bahkan beberapa ada yang mengusap sudut mata karena terharu, terbawa oleh lagu yang ia mainkan.

Sean mengangkat kesepuluh jemari secara perlahan ketika nada berakhir, sejenak memejamkan mata dan menghela napas. Ia berdiri, membungkuk hormat di hadapan ribuan penonton diiringi tepuk tangan yang bergema, panjang dan lama.

*

Mata Jhon memicing saat melihat Sean berjalan ke belakang panggung. Ia berusaha mengulas senyum dan menampilkan wajah penuh kekaguman.

"Wow!!!" Satu kata sambutan dari Jhon begitu Sean berada di depannya. "Tres bien, Aku bahkan sampai tidak bisa berkata-kata." Manajer itu menepuk bahu Sean pelan. Mereka berjalan bersisian ke tempat parkir.

"Merci."

"Ayo, rayakan hari ini. Kita bersenang-senang."

"Antar aku pulang saja." Sean mengelak karena ia paham maksud Jhon dengan bersenang-senang.

"Tidakkah kau tertarik mencoba sekali saja?"

"Mabuk-mabukan dan merusak kesehatanku?" tanya Sean sambil melempar kunci mobil pada Jhon, yang langsung ditangkap manajer itu.

"C'mon, Dude. Kau ini hidup di zaman apa, sih? Minum-minum sekali saja tidak akan membuatmu sakit keras."

Sean menatap Jhon dengan ekspresi yang tak dapat dibantah, membuat manajernya seketika mengangguk, membuka pintu mobil dan duduk di balik kemudi.

"Oke, oke, aku akan pulang bersamamu. Seharusnya tadi aku bawa mobil sendiri saja." Jhon mengerutu sambil mengemudi, sementara Sean sudah duduk nyaman di bangku sebelahnya sambil memainkan ponsel.

"Yiruma? Mendadak berubah pikiran?"

Sean menghentikan kegiatan dengan ponselnya, mengangguk, memandang Jhon sekilas.

"Kau lihat saja rekamannya besok. Aku benar-benar melihat wajahmu melembut beberapa detik tadi. Semua orang bilang kau seperti malaikat."

"Berarti biasanya aku seperti iblis."

Jhon tersenyum simpul mendengar gumaman asal dari pria di sampingnya.
*

Malam semakin pekat. Setelah Sean menurunkannya  di apartemen satu jam lalu, Jhon masih tak beranjak dari balkon. Sebelah tangannya memegang gelas berisi minuman beralkohol, sedangkan satu lainnya mengenggam selembar foto. Ia menatap potret hitam putih yang sedikit buram termakan waktu.  

Segaris senyum yang tampak di sana sama sekali tak menyiratkan kebahagiaan.

Jhon sangat mengingat momen itu. Saat mereka berdua baru saja pindah rumah, ke kawasan yang lebih baik. Bukan karena perekonomian keluarganya meningkat, tapi, seorang pria tua baru saja memberikan rumah ini pada ibunya. Ya, hanya sepetak rumah kecil, dan sebuah pesan untuk yang pertama dan terakhir dari lelaki itu, “Jangan pernah mengusik keluargaku lagi. Atau kehidupan kalian, terutama putramu, akan terasa seperti di neraka.”

Dan hingga akhir hayatnya, sang ibu menuruti perkataan pria tua itu. Ia benar-benar tak pernah sekalipun mengusik keluarga mereka. Namun, pada akhirnya, Jhon lebih memilih mengambil apa yang seharusnya menjadi miliknya. Ia bukanlah sang ibu yang rela menerima semua keadaan.

*

Tubuh Sean bergerak resah di atas tempat tidur. Raganya lelah, tapi matanya tak ingin terpejam. Perkataan Kinan kembali berputar dengan jelas dalam memori.

"Lagu yang indah, tapi tidak menyentuh hati."

Gadis itu memang benar, selama ini ia bermain piano hanya mengandalkan ingatan fotografis, menghafal not dan angka dengan sangat baik. Selalu menekan semua rasa yang melintas di hati, berusaha bermain tanpa mengandalkan perasaan.

Namun, apa yang sudah terjadi tadi? Batin Sean sambil mengacak rambut frustrasi.

Hingga kemudian, sekelumit keyakinan terbit di hati. Ia percaya, permainan pianonya cukup menyentuh. Bahkan mungkin bisa membuat gadis itu terpesona. Karena untuk pertama kalinya, ia membiarkan perasaannya mengambil alih, tak hanya menghafal seluruh not.

Sean menarik selimut, menenggelamkan tubuh dalam kegelapan, berusaha tidur, sembari memanjatkan doa. Berharap Tuhan berbaik hati memudahkan langkahnya esok.
*

Kiss The Rain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang